Secara fakta, sampai hari ini pemerintah pusat belum menetapkan banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sebagai bencana nasional. Tiga provinsi itu baru berstatus tanggap darurat bencana di level provinsi, sementara Presiden dan BNPB menyatakan pemerintah masih akan “memantau dan menilai” kondisi, meski seluruh kementerian sudah diperintahkan membantu BNPB dan operasi bantuan berlangsung besar-besaran. Desakan agar status dinaikkan justru datang dari bawah, koalisi organisasi masyarakat sipil, akademisi, DPD, dan anggota DPR yang menilai pemerintah daerah sudah tidak sanggup menangani skala bencana ini.
Kalau memakai kriteria dalam UU Penanggulangan Bencana yang dijelaskan berbagai pakar dan diulas Tirto—jumlah korban jiwa besar, wilayah terdampak lintas provinsi, kerusakan infrastruktur melumpuhkan aktivitas ekonomi, dan kapasitas pemda jelas terlampaui—argumen untuk menetapkan status bencana nasional sebenarnya sangat kuat (Tirto.id, 2 Desember 2025).
Status ini akan memberi landasan hukum yang lebih kokoh untuk tiga hal penting: mobilisasi penuh sumber daya nasional (anggaran, TNI/Polri, BUMN logistik, relawan), percepatan bantuan keuangan antar-daerah dan dari APBN tanpa tarik-menarik administratif, serta komando yang lebih jelas agar operasi di Aceh, Sumut, dan Sumbar tidak berjalan terpisah-pisah.
Dalam situasi di mana ratusan ribu warga terdampak, ratusan meninggal, ratusan masih hilang, jalur utama Sumatera terputus, dan harga pangan di provinsi lain mulai naik, penundaan status justru mengirim sinyal ambigu kepada publik.
Pemerintah memang bisa berargumen bahwa tanpa status bencana nasional pun negara sudah mengerahkan helikopter, kapal bantuan, dan berbagai bentuk dukungan. Secara politik dan psikologis, pertanyaannya bergeser: apakah negara berani mengakui bahwa skala guncangan ini melampaui batas kewajaran desentralisasi fiskal dan perlu payung nasional penuh.
Menetapkan bencana nasional bukan tanda kegagalan daerah, melainkan pernyataan jujur bahwa keselamatan warga Sumatera menjadi prioritas kolektif republik. Dalam konteks ini, langkah paling masuk akal ialah menaikkan status menjadi bencana nasional seraya menjelaskan peta jalan pemulihan yang terukur: tahap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi yang menggabungkan pemulihan ekonomi dengan koreksi besar atas kerusakan lingkungan dan tata ruang di hulu. Dengan begitu, status bukan sekadar simbol, tetapi pintu masuk bagi perubahan cara negara melindungi warganya dari bencana berikutnya
Oleh:
Prof. Syafruddin Karimi
Guru Besar Ekonomi Universitas Andalas







