Sumbar

Penundaan Status Bencana Nasional Perlambat Pemulihan Masyarakat

0
×

Penundaan Status Bencana Nasional Perlambat Pemulihan Masyarakat

Sebarkan artikel ini
Penundaan

Padang, hantaran.Co–Rektor UM Natsir Bukittinggi, Afridian Wirahadi Ahmad SE, MSc, Akt  menilai penundaan penetapan status bencana nasional oleh pemerintah pusat telah memperpanjang krisis dan memperlambat pemulihan masyarakat.

Ia menjelaskan, ketika bencana tetap dikategorikan sebagai bencana provinsi, seluruh beban penanganan berada di pundak APBD. Pemerintah pusat hanya bersifat membantu dan tidak wajib menanggung secara penuh proses evakuasi, penanganan korban, hingga rehabilitasi infrastruktur.

Berbeda halnya dengan bencana nasional, di mana APBN mengambil alih seluruh proses, mulai dari pendanaan sumber daya manusia, peralatan, logistik, hingga rekonstruksi wilayah terdampak.

Menurutnya, kondisi kerusakan yang terjadi kini sudah berada pada level yang tidak mungkin ditangani oleh APBD. Banyak jalan terputus, jembatan runtuh, rumah hilang diterjang galodo, serta ribuan hektare lahan pertanian hancur.

Sektor pertanian penyangga ekonomi utama masyarakat mengalami kerugian besar yang langsung memukul penghidupan warga. Nilai kerusakan dan potensi kerugian bahkan disebutnya melampaui kapasitas fiskal daerah. “Kalau dibiarkan sebagai bencana daerah, dengan kemampuan APBD yang sangat terbatas, pemulihan ekonomi akan berjalan sangat lambat,” ujarnya kepada Haluan, Jumat (5/12/2025).

Ia menilai tidak ada jalan lain selain menjadikan bencana ini sebagai bencana nasional agar negara dapat mengerahkan sumber daya secara penuh. Afridian juga menyoroti akar persoalan yang memperburuk dampak bencana, yakni lemahnya pengawasan pemerintah terhadap izin pemanfaatan hutan dan sumber daya alam.

Pemerintah, menurutnya, memang menerbitkan izin untuk berbagai konsesi, namun pengendalian terhadap pelaksanaannya dinilai sangat minim. Telah banyak pelanggaran terjadi di kawasan yang seharusnya paling dilindungi. Seperti SM Bukit Barisan, Taman Nasional Kerinci Seblat, Batang Toru dan sejumlah kawasan hulu DAS lainnya. Penebangan liar, penambangan ilegal, dan pemanfaatan kawasan konservasi berjalan tanpa kontrol memadai.

Dalam kondisi lemahnya pengawasan, muncul fenomena yang ia sebut sebagai shadow economy, yakni aktivitas ekonomi gelap yang tidak berizin, tidak tercatat, dan tidak menjalani prosedur perpajakan.

Di Sumbar, hal ini tampak dari struktur ekonominya yang didominasi UMKM, di mana sekitar 95 persen pelaku usaha tidak memiliki izin usaha atau Nomor Induk Berusaha (NIB). Transaksi dilakukan tunai tanpa perbankan sehingga tidak masuk dalam PDRB maupun PAD daerah.

Afridian menilai jaringan shadow economy ini memfasilitasi maraknya illegal logging dan aktivitas tambang ilegal yang merusak hutan. Transaksi dilakukan tanpa pencatatan, membuat peredaran kayu hasil pembalakan dan material hasil penambangan tidak terpantau negara.

Akibatnya, degradasi hutan terus terjadi tanpa batas, meningkatkan kerentanan wilayah terhadap banjir bandang, longsor dan bencana ekologis yang kini sedang dirasakan masyarakat Sumbar.

“Ketika ekonomi berjalan dalam ruang gelap, pengawasan mustahil dilakukan. Di situ illegal logging, illegal mining, dan seluruh aktivitas merusak hutan berkembang. Inilah yang memperparah bencana ekologis kita,” katanya.

Ia juga menyinggung pertanyaan yang berkembang di masyarakat mengenai kemungkinan adanya pejabat yang mendapatkan keuntungan dari pembiaran aktivitas ilegal tersebut. Menurutnya, hal itu tidak lepas dari proses perizinan yang rumit namun minim pengendalian, serta rendahnya komitmen pemerintah dalam mengawasi kawasan hutan yang seharusnya terlindungi.

Afridian menegaskan bahwa penetapan status bencana nasional tidak hanya menguntungkan dari sisi pendanaan negara, tetapi juga membuka akses lebih besar bagi bantuan perusahaan dan lembaga internasional.

Bantuan korporasi akan diakui sebagai pengurang pajak bila status bencana sudah nasional, sehingga mendorong lebih banyak investasi sosial ke wilayah terdampak. Selain itu, bantuan dari lembaga global, negara sahabat, dan diaspora Indonesia di luar negeri bisa masuk secara resmi untuk mempercepat proses pemulihan.

Dalam pandangannya, penundaan status bencana nasional justru menciptakan ketidakpastian dan membuka ruang spekulasi, termasuk asumsi bahwa pemerintah enggan menetapkan status karena dikhawatirkan akan menyeret perusahaan-perusahaan besar yang terkait dengan kerusakan hutan ke dalam implikasi hukum.

Dengan mempertimbangkan skala kerusakan, keterbatasan fiskal daerah, dan urgensi penanganan cepat, Afridian menilai negara harus segera hadir secara penuh. “Dengan kondisi infrastruktur rusak parah, ekonomi masyarakat lumpuh, hingga sektor pertanian kolaps, sudah selayaknya pemerintah mengambil alih penanganan ini dengan menetapkan status bencana nasional,” ucapnya.

Ia menegaskan bahwa langkah itu bukan sekadar keputusan administratif, tetapi penentu kecepatan pemulihan ekonomi, keberlanjutan pembangunan, dan langkah korektif terhadap tata kelola hutan yang selama ini dibiarkan rusak oleh aktivitas legal maupun ilegal yang tak tersentuh pengawasan. “Penetapan bencana nasional harus segera dilakukan. Sebab, itu sangat menentukan kecepatan pemulihan ekonomi masyarakat di Pulau Sumatera,” ujarnya.