Di rumah saudara yang kini menjadi tempatnya berlindung, Rahmi Wiristya (37) menjalani hari-hari penuh luka setelah galodo menerjang Salareh Aia dan merenggut separuh keluarganya. Dalam kondisi tak bisa berjalan, ia bertahan di tengah terjangan air bah sambil mendekap dua anaknya, menjadi saksi bisu betapa cepat bencana menghapus kehidupan yang selama ini ia bangun perlahan.
LAPORAN : DEPITRIADI
WARTAWAN AGAM
Rahmi Wiristya (37) duduk bersandar pelan di lantai rumah saudaranya di Lubuk Basung, tempat ia menumpang sejak galodo meratakan rumahnya di Salareh Aia. Mukena bermotif bunga yang ia kenakan tampak sedikit kusut, sementara dua anaknya tidur pulas di depan kakinya di atas tikar bercorak merah dan hijau.
Ruangan itu dipenuhi barang-barang darurat seperti tas, bantal, pakaian dan beberapa peralatan dapur yang diselamatkan seadanya. Pintu depan dibiarkan terbuka, menghadirkan semacam jeda napas bagi perempuan yang hidupnya masih diselimuti kabut duka.
Di tengah tumpukan barang dan suasana rumah yang bukan rumahnya sendiri, Rahmi duduk dengan tenang, tetapi sorot matanya menyimpan riak yang tak mudah hilang. Ia belum bisa berjalan sejak kecelakaan saat bertugas sebagai tenaga harian lepas di Dinas Pertanian Agam beberapa bulan lalu. Kakinya patah ketika memeriksa hewan qurban pada Idul Adha lalu.
Pagi itu, kedua anaknya, Abdi dan Asraf, terlelap begitu dekat dengannya, seolah memastikan tangan ibunya selalu dalam jangkauan. Rahmi merapikan selimut salah satu dari mereka sambil menghela napas pelan.
“Kalau ada apa-apa, mereka selalu dekat sama saya,” ujarnya lirih. Ada getar halus dalam suaranya, getar yang lebih banyak menyimpan luka daripada kata-kata.






