Padang, hantaran.Co–Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sumatra Barat, Defri Imung Mulyadi, menyoroti dua hal krusial dalam penanganan pascabencana di Sumatra Barat. Yaitu keteguhan etika jurnalis Sumatra Barat di tengah keterbatasan, serta belum maksimalnya pelibatan perguruan tinggi dalam upaya pemulihan.
Defri Imung Mulyadi mengungkapkan, di tengah kondisi darurat dan tekanan ekonomi, banyak jurnalis di Sumatera Barat justru memilih menahan diri untuk tidak menerima bantuan, bahkan enggan dicatat sebagai penerima bantuan terdampak bencana.
“Banyak jurnalis di Sumbar yang enggan menerima bantuan. Untuk sekadar membuat daftar nama jurnalis terdampak saja mereka tidak mau. Padahal banyak dari mereka yang juga terkena bencana dan harus meliput pada saat yang sam,” ujarnya dalam diskusi penanganan bencana Sumbar yang diinisiasi senator Irman Gusman dan PWI Sumbar di Padang Senin (15/12/2025).
Baca Juga : Bencana Sumbar, Bundo Kanduang: Alam Tak Pernah Ingkar, Kita yang Berkhianat
Menurut ketua asosiasi jurnalis Televisi ini, sikap itu mencerminkan kuatnya etika dan tanggung jawab profesi jurnalis, yang tetap mengutamakan kerja-kerja kemanusiaan dan kepentingan publik di tengah keterbatasan pribadi. Di sisi lain, Defri menilai pemulihan Sumatera Barat tidak akan berjalan cepat tanpa keterlibatan aktif perguruan tinggi.
Ketua IJTI Sumbar itu mengatakan, pemerintah harus secara sadar dan terstruktur mengajak kampus-kampus untuk turun langsung dalam upaya pemulihan. “Perguruan tinggi punya kekuatan luar biasa. Kebetulan pula, wilayah terdampak di Kota Padang adalah pusat perguruan tinggi. Semua rektor harus mampu menggerakkan mahasiswa untuk terlibat dalam pemulihan,” katanya.
Ia menyebut, keterlibatan mahasiswa bisa diarahkan pada kerja-kerja konkret, seperti pembersihan material bekas banjir, sedimen lumpur, hingga pemulihan lingkungan di kawasan permukiman dan fasilitas umum. Namun, Defri mengkritik kebijakan yang justru menjadi penghambat inisiatif tersebut.
Ia mencontohkan adanya kampus yang telah melakukan kegiatan pembersihan, tetapi dikenakan biaya “uang asam” untuk pembuangan material sedimen. “Ini ironi. Ketika kampus dan mahasiswa sudah bergerak membantu, justru dibebani biaya pembuangan. Harus ada kebijakan yang membebaskan atau mempermudah ini,” tegasnya.
Menurut Ketua IJTI Sumbar itu, jika material sisa bencana dapat segera dibersihkan secara masif dan terkoordinasi, roda ekonomi masyarakat akan lebih cepat berputar kembali. “Kalau lingkungan bersih, aktivitas ekonomi bisa berjalan lagi. Ini sederhana, tapi dampaknya besar,” ujarnya.
Pernyataan Ketua IJTI Sumbar tersebut menegaskan bahwa pemulihan pascabencana tidak cukup hanya mengandalkan anggaran dan birokrasi. Dibutuhkan keberanian kebijakan, pelibatan kampus, serta dukungan nyata bagi kerja-kerja kemanusiaan agar Sumatra Barat dapat bangkit lebih cepat dan bermartabat.




