Musim hujan tahun ini kembali meninggalkan luka mendalam di Pulau Sumatera. Gelombang bencana hidrometeorologi, mulai dari banjir bandang, galodo, hingga longsor, menyapu dan meluluhlantakkan banyak permukiman di tiga provinsi utam pulau Sumatera, yakni Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Data terbaru menunjukkan jumlah korban jiwa terus bertambah melebihi 1000 orang, sementara puluhan ribu orang kehilangan tempat tinggal sekaligus sumber penghidupan. Kerugian material pun tak kalah masifnya, rumah-rumah terendam, jalan dan jembatan vital hancur, serta lahan pertanian yang menjadi tulang punggung ekonomi lokal rusak parah.
Estimasi awal Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat kebutuhan dana rehabilitasi dan rekonstruksi di tiga provinsi tersebut bisa melampaui Rp51,82 triliun. Angka ini jelas-jelas menggambarkan skala kehancuran ekologis dan fisik yang cukup luar biasa. Sumatera Barat, misalnya, salah satu wilayah yang paling terdampak, menanggung kerugian hingga triliunan rupiah, situasi serupa juga dialami Sumatera Utara, dan Aceh. Lebih dari sekadar kerusakan fisik, bencana kali ini juga memicu runtuhnya produktivitas masa depan dan modal sosial di daerah yang pemulihannya bisa memakan waktu bertahun-tahun.
Namun, di tengah urgensi dan besarnya skala krisis, respons fiskal pemerintah pusat justru memperlihatkan situasi yang kontras, bahkan cukup mencemaskan. Alih-alih melakukan intervensi luar biasa dengan skala yang memadai, langkah yang diambil justru masih berkutat pada kerangka anggaran rutin yang sangat terbatas.
Baca Juga : Pemerintah Pusat Tak Pangkas TKD untuk Sumbar
Dana yang dikucurkan melalui Dana Siap Pakai (DSP) BNPB hanya bernilai ratusan miliar rupiah (sekitar Rp500 miliar), jauh dari cukup dibandingkan kebutuhan Rp51,82 triliun yang disebutkan sendiri oleh BNPB. Presiden memang mengumumkan tambahan Rp4 miliar untuk masing-masing dari 52 kabupaten/kota terdampak, serta menjanjikan bantuan lanjutan di tingkat provinsi. Namun secara keseluruhan, total dana darurat ini tetap sangat tidak memadai.
Disparitas ini diperparah oleh kondisi fiskal pemerintah daerah yang ternyata juga sangat rapuh setelah diterapkannya kebijakan efisiensi sejak awal tahun. Jika ditelusuri secara mendalam, terlihat bahwa sebagian besar kabupaten/kota di Sumatera, yang sejak awal tahun terikat kebijakan pengetatan dan efisiensi anggaran dari Jakarta, nyaris tak memiliki cadangan dana.
Anggaran Belanja Tidak Terduga (BTT), penopang utama respons darurat dari pemerintah daerah (pemda), mendadak terkuras karena nominal yang tersedia juga sangat kecil. Di beberapa daerah kritis, BTT dilaporkan hanya sekitar Rp750 juta, jumlah yang bahkan tidak cukup untuk membiayai tiga hari operasi tanggap darurat penuh di satu lokasi bencana besar. Ketidakberdayaan fiskal ini membuat pemda lumpuh dan sepenuhnya sangat bergantung pada bantuan dari pusat.







