Padang, hantaran.Co–Bencana ekologis yang kembali melanda Sumatera Barat (Sumbar) membuka persoalan mendasar terkait tata kelola ruang wilayah. Kerusakan lingkungan, banjir, dan longsor yang terjadi berulang dinilai tidak semata akibat faktor alam, melainkan juga lemahnya perencanaan tata ruang yang belum sepenuhnya berbasis mitigasi bencana.
Menanggapi kondisi tersebut, Senator RI asal Sumbar, Irman Gusman, menegaskan pentingnya penataan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang lebih baik dan terintegrasi guna mengantisipasi potensi bencana serupa di masa mendatang, khususnya di Sumatera Barat yang memiliki tingkat kerentanan geografis tinggi.
Hal itu disampaikan Irman Gusman dalam pertemuan dengan Kepala Kantor Wilayah Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Provinsi Sumbar, Teddi Guspriadi, sebagai bagian dari evaluasi penanganan dan pemulihan pascabencana yang hingga kini masih berlangsung.
Baca Juga : Catatan Penanganan Bencana Dari Ombudsman Sumbar, Data Timpang, Komando Terserak
Menurut mantan Ketua DPD RI dua periode tersebut, persoalan utama terletak pada kebijakan tata ruang yang belum sepenuhnya menjadikan mitigasi bencana sebagai dasar perencanaan. Akibatnya, ketika bencana terjadi, dampak yang ditimbulkan menjadi lebih besar dan merugikan masyarakat.
Ia menilai, tata ruang yang tidak mempertimbangkan risiko bencana berpotensi memperparah kerusakan lingkungan, memperluas wilayah terdampak, serta mengancam keselamatan warga, terutama di kawasan rawan banjir, longsor, dan abrasi.
Oleh karena itu, Irman menekankan bahwa penataan RTRW ke depan harus disusun secara lebih komprehensif dengan memperhatikan kondisi geografis, daya dukung lingkungan, serta tingkat kerentanan wilayah terhadap bencana alam dan ekologis.
“Bencana yang terjadi kali ini harus menjadi pelajaran bersama. Penataan RTRW harus komprehensif dan tidak boleh lagi mengabaikan aspek mitigasi bencana, karena ini menyangkut keselamatan masyarakat,” ujar Irman Gusman kepada Haluan Kamis (18/12/2025) di Padang.
Irman menambahkan, selama ini kebijakan tata ruang belum sepenuhnya diposisikan sebagai instrumen strategis untuk melindungi warga. Padahal, keputusan alih fungsi lahan dan pola pembangunan memiliki keterkaitan langsung dengan meningkatnya risiko bencana, terutama di daerah rawan.
Selain persoalan tata ruang, Dewan Penasehat MDMC Sumbar itu juga menyoroti lemahnya koordinasi lintas sektor dalam penanganan pascabencana. Menurutnya, pemulihan yang berjalan parsial berpotensi memperlambat rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah terdampak.
Ia menegaskan bahwa sinergi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, aparat keamanan, serta tokoh masyarakat menjadi faktor kunci agar penanganan bencana berjalan efektif dan berkelanjutan.
“Bencana ekologis di Sumbar telah memasuki pekan keempat. Pemulihan pascabencana tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri. Diperlukan kerja sama semua pihak agar proses rehabilitasi dan rekonstruksi berjalan lebih cepat dan tepat sasaran,” kata anggota Komite I DPD RI itu.
Sementara itu, Kepala Kanwil ATR/BPN Sumatera Barat, Teddi Guspriadi, menyambut baik dorongan penataan RTRW yang disampaikan Irman Gusman. Ia menilai langkah tersebut sejalan dengan kebutuhan daerah dalam memperbaiki fungsi dan pemanfaatan lahan pascabencana. “Kami sepakat bahwa penataan ruang harus didukung kajian yang komprehensif agar pemanfaatan lahan ke depan tidak meningkatkan risiko bencana,” kata Teddi.
Ia juga menegaskan bahwa program sertifikasi tanah yang dijalankan ATR/BPN bertujuan menciptakan tertib administrasi pertanahan sekaligus memberikan kepastian hukum bagi masyarakat, khususnya di wilayah rawan bencana, sebagai bagian penting dari proses rehabilitasi dan penataan ulang wilayah pascabencana.







