Banner
Opini

Bencana Sumatra, Pandangan Ekoteologis dan Krisis Kebijakan Lingkungan Indonesia

7
×

Bencana Sumatra, Pandangan Ekoteologis dan Krisis Kebijakan Lingkungan Indonesia

Sebarkan artikel ini
Sumatra

Musibah ekologis yang menghantam Pulau Sumatra pada akhir November 2025 bukan sekadar peristiwa geologis ekstrem, melainkan cermin dari relasi manusia dengan alam yang rusak akibat eksploitasi. Ketika bencana terjadi secara berulang dan skalanya semakin besar, pertanyaan paling logis bukan lagi mengapa alam murka, tetapi mengapa manusia mengabaikan rambu rambu ekologis yang diwariskan oleh leluhur. 

Sumatra pernah menjadi contoh harmoninya masyarakat dan hutan, namun ketika sistem nilai itu digantikan oleh logika ekstraktif dan kebijakan perizinan yang permisif, keseimbangan itu runtuh. Pada titik inilah ekoteologi Nusantara bukan hanya perlu dibahas, tetapi harus dipertimbangkan sebagai fondasi tata kelola lingkungan negara.

Ekoteologi Nusantara sebagai Dasar Relasi

Dalam masyarakat adat Nusantara seperti Minangkabau, Dayak, dan Baduy, hutan dan sungai bukan ruang ekonomi murni, melainkan bagian dari tatanan moral dan spiritual. Di Minangkabau, sistem hutan ulayat dan ritual buka rimbo memastikan penggunaan hutan tidak melampaui daya dukung ekologis. Penelitian Sembiring menunjukkan bahwa nagari yang mempertahankan tata kelola adat mampu menjaga tutupan hutan lebih stabil selama 15 tahun terakhir dibandingkan wilayah yang mengandalkan regulasi perizinan pemerintah (Sembiring, 2022). 

Di Kalimantan, masyarakat Dayak Kenyah dengan konsep tana’ ulen menempatkan hutan sebagai zona sakral, sehingga penebangan hanya diperbolehkan untuk kepentingan adat tertentu. Studi Eghenter (2017) menemukan bahwa wilayah tana’ ulen memiliki tingkat keanekaragaman hayati dan fungsi hidrologis yang sebanding dengan taman nasional. Di Baduy, leuweung kolot dijaga sebagai hutan primer yang tidak boleh disentuh, dan penelitian Karim (2021) menunjukkan sistem ini menjaga stabilitas debit Sungai Ciujung dan mencegah banjir besar di hilir.

Baca Juga : Jihad Ekologi: Jalan Perjuangan Bangsa

Melalui contoh-contoh ini tampak bahwa masyarakat adat menjaga alam bukan karena regulasi teknis, tetapi karena relasi etis dan spiritual. Keraf berpendapat bahwa krisis lingkungan terjadi saat manusia memposisikan diri sebagai pusat dan alam sebagai alat, sehingga menghapus etika ekologis dalam diri manusia (Keraf, 2014). 

Sejalan dengan itu, Nasution menegaskan bahwa dalam perspektif ekoteologi Islam, pengelolaan bumi adalah amanah dan pengabaian terhadap amanah tersebut menghasilkan kerusakan sosial dan ekologis (Nasution, 2021). Maka ekoteologi bukan konsep abstrak, tetapi kerangka hidup yang telah terbukti mengamankan keberlanjutan ekologis selama berabad abad.