Wisata sejak Covid-19 mengalami perubahan paradigma. Dulu wisata identik keluar rumah namun pada saat itu, wisata virtual menjadi menarik karena seseorang tidak perlu menghabiskan banyak biaya untuk menjangkaunya. Wisata kreatif demikian pada akhirnya membawa keuntungan tersendiri dan membawa perilaku hukum tersendiri di Negara Indonesia.
Jelang akhir tahun, mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi dua pabrik gula yang usianya sudah ratusan tahun. Pabrik-pabrik itu hingga saat ini masih beroperasi tetapi seolah-olah kawasan di sekitarnya tidak cukup menunjukkan dominasinya. Keberadaan pabrik gula ini tersaingi dengan pabrik-pabrik lainnya. Kawasannya cukup luas namun tidak terlihat bagian yang menunjukkan bahwa disini terjadi kegiatan produksi secara nasional. Kegiatan ini lanjutan dari penelitian yang pernah saya lakukan bersama tim terkait hukum kepariwisataan di Kota Kediri.
Bentuk kunjungan yang diinisiasi beberapa komunitas sejarah pada akhirnya menciptakan gagasan terjal. Misalnya sejauh mana kepedulian negara pada keberadaan pada peningkatan kawasannya ataupun bagaimana masyarakat bisa menghidupi dirinya sendiri. Sebagai contoh ketika berkunjungan ke Makam Bung Karno di Blitar maka masyarakat sekitar menjual produk-produk yang dilabeli wajah Proklamator. Peningkatan-peningkatan bisa dilakukan melalui pelatihan misalnya pengunjung yang akan beli kaosnya maka secara otomatis wajahnya pembeli akan bersanding dengan Bung Karno. Ini adalah kemajuan yang tidak harus pada objek wisatanya namun pada pendukungnya.
Komunitas sejarah ini tidak hanya mengajak siapapun namun memiliki penciri khususnya. Mengenalkan bangunan-bangunan kuno dengan penyampaian yang berbeda. Mereka juga terdiri dari generasi muda yang penyajiannya bisa diterima juga oleh gen z. Informasi yang tersaji bisa saja sudah ada di internet namun ketika berkeliling selalu menemukan informasi yang tidak diulas secara online. Salah satu contohnya keberadaan sumur kuno di perumahan dinas. Akses tersebut tidak bisa dilihat tanpa adanya komunitas sejarah dan pada akhirnya informasi secara offline menjadi sangat banyak. Komunitas sejarah ini cenderung bisa diterima dengan baik oleh masyarakat karena mereka menunjukkan kepedulian lainnya seperti misalnya gerakan bersih-bersih gedung atau mengikuti lomba-lomba yang diadakan oleh Pemerintah Kota Surabaya.
Para peserta yang beragam turut berjalan sejauh ribuan langkah dan bisa mengetahui dibaliknya ada hal-hal yang baru diketahui. Sylvie Le Clech dalam artikelnya berjudul La participation des citoyens aux politiques patrimoniales. Cohabitation ou coopération culturelle au XXIe siècle? mengatakan bahwa warisan dalam suatu negara hanya terbagi menjadi pejabat terpilih, para ahli yang memiliki legitimasi pengetahuan dan warga negara secara umum dengan berbagai kompleksitas. Pejabat terpilih akan memberikan kebijakan sesuai rezim akrena adanya keakuratan data sehingga tidak hanya membicarakan lingkup kecil melainkan bagaimana bisa memberikan dampak bagi masyarakat luar negeri. Para ahli juga harus terus meningkatkan kemampuannya dengan berbagai sokongan dana sehingga ada kebenaran dan informasi yang jelas. Yang ketiga adalah warga negara secara umum. Keterikatan dengan warga negara atau masyarakat adalah yang harus dijaga karena berganti rezim apapun, masyaralat adalah penjaga utama dari kepariwisataan itu sendiri.
Selain itu, negara dan komunitas sejarah bukanlah hubungan berdasarkan hierarki. Negara dan komunitas sejarah adalah kesatuan yang saling melengkapi. Sebagai gambaran bahwa komunitas sejarah cenderung bergerak dalam lapangan, dekat dengan masyarakat, kreativitas dan membangun kesadaran publik. Orientasi akan rupiah tidak boleh diperdebatkan. Sementara peran negara yaitu mengatur dan melindungi hukum, memiliki kewenangan resmi dan kuasa akan menetapkan kebijakan nasional.
Komunitas sejarah mampu memberikan pemahaman akan makna sejarah di lingkungan sekitar. Turut serta memberikan edukasi dan informasi berharga melalui lisan. Ada yang harus dicermati, ketika komunitas sejarah membawa pada bagian kesejarahan maka validasi dibutuhkan. Peran serta negara harus menjadi bagian yang nyata sehingga tidak muncul kepedulian sesaat. Secara normatif pariwisata diatur dalam Peraturan Menteri Pariwisata Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2025 tentang Standar Kegiatan Usaha, Tata Cara Pelaksanaan Pengawasan, Dan Sanksi Administratif Pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Pariwisata, diartikan bahwa pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata yang didukung sarana, prasarana, fasilitas, dan layanan dengan memperhatikan kebutuhan wisatawan. Tentu definisi ini akan memperkuat pegerakan akan kepedulian pariwisata.
Komunitas sejarah sebaiknya juga menjadi bagian edukasi agar tidak muncul kesesatan informasi. Hal ini mempermudah dalam melihat atau memberi kritik akan keberadaan wisata sejarah. Kenapa harus kritik? Karena komunitas sejarah akan terus mengitari kawasan-kawasan itu secara periodik.
Tetapi ada hal yang menarik dari komunitas sejarah yaitu tidak memiliki kewenangan dalam memberikan pemikirannya. Ia ibarat sahabat pengadilan yang hanya memberikan cerita untuk didengarkan namun bukan dipertimbankan. Komunitas sejarah harus mendapatkan kemudahan legitimasi sehingga adanya pertanggungjawaban yang baik. Sebagai informasi, dalam ilmu hukum, keberadaan sejarah hukum sangatlah penting. Hal ini penting untuk menelusuri sumber-sumber hukum yang ada karena keberadaan sejarah hukum diakui negara sebagai hukum yang terutama dan salah satunya adat. Mubashar Tariq mengatakan bahwa akses terhadap keadilan merupakan salah satu alat untuk mengukur kemajuan masyarakat, terutama bagi masyarakat miskin. Namun, kita semua tahu bahwa tidak semua orang memiliki akses ke pengadilan karena berbagai alasan seperti buta huruf, kekurangan sumber daya, tidak adanya hubungan dengan pengacara, biaya pengadilan, biaya litigasi, tekanan sosial, dan ketakutan akan konsekuensinya. Ini adalah konsep yang sudah ada sejak lama namun bisa diwujudkan dalam bentuk apapun. Dalam komunitas sejarah, keberadaan pemandu dan peserta adalah kesetaraan yang baik. Bisa saja informasi dari pemandu tidak diketahui oleh peserta dan informasi dari peserta tidak diketahui oleh pemandu. Artinya pertukaran informasi menjadi bagian penting dan bisa dijadikan dalam wujud luara-luaran. Adakalanya juga komunitas sejarah juga menjadi perpustakaan berjalan bagi mereka yang ingin menelusuri lebih lanjut dan kehendak lainnya.
Adakalanya komunitas sejarah memberikan imbauan kepada para peserta untuk tetap peduli namun dalam kunjungan berikutnya ditemukan bahwa bangunan-bangunan kuno telah berubah. Komunitas sejarah tidak lagi sekadar memberikan suasana yang nyaman dari hiruk pikuk pekerjaan namun ada keberlanjutan atas peran negara yang dilakukannya. Wujud dukungan negara dapat berupa memberikan fasilitas berkembangnya wisata lokal karena mereka kecenderungan berjalan kaki, uji kompetensi terkait skema kepariwisataan hingga kemudahan dalam mengakses informasi akan adanya suatu kawasan atau landscape.
Jadi jika disamakan dalam trias politika, komunitas sejarah adalah “wakil menteri” yang hidup terus menerus dalam masyarakat luas. Tidak sekadar piawai bicara hukum namun jokes nya pun juga mengandung arti termasuk pengambilan gambar sebagai dokumentasinya. Opini ini merupakan luaran dari kunjungan dari Kota Pasuruan dan Jombang. (*)
Oleh: Tomy Michael Ketua Prodi S1 FH Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya






