Sumatera Barat hari ini merisaukan. Tak hanya karena mendung, hujan dan longsor, tapi lebih dari itu. Sumbar ‘tercecer’. Pertumbuhan ekonomi melambat. Pembangunan nyaris mandeg. Diskusi lintas tokoh di sebuah ruang khusus Café Dari Sini (CDS) Pasar Baru, Pauh, Kota Padang awal pekan ini, mencoba mengungkap data, latar dan menawarkan solusi penghalau risau. Berikut catatannya.
**
Apa yang menyebabkan Pertumbuhan Ekonomi Sumbar menukik pada Q2/2025 (kuartal 2) dan terpuruk pada Q3/2025? Menurut Wery Darta Taifur, ambruknya ekonomi Sumbar tak terlepas dari keengganan kita membaca tanda-tanda dan angka. Perlambatan pertumbuhan ekonomi tahun 2015 dan tersalipnya Pertumbuhan Ekonomi Sumbar pada tahun 2018 dianggap biasa-biasa saja dan seolah-olah dijadikan takdir alam saja.
“Apa yang kita rasakan saat ini, adalah buah dari kelalaian kita pada masa lalu. Kita tak mampu membaca sinyal SOS (tanda bahaya—red) dari Pertumbuhan Ekonomi. Kita tak peduli dengan trend Pertumbuhan Ekonomi hingga anjlok dan ambruk akhirnya seperti ini,” kata Ekonom dan Akademisi Indonesia yang saat ini menjabat sebagai Anggota Majelis Wali Amanat Universitas Andalas itu.
Secara gamblang Wery membaca dan memaparkan data. Pada tahun 2017 (akhir semester 1/2017) tanda-tanda itu sudah tampak. Sektor pertanian mulai mentok kontribusinya terhadap PDRB. Selain luasan lahan yang makin berkurang, jumlah manusia yang bergantung ke sana juga bertambah. Akibatnya produktivitas rata-rata menjadi menurun.
Dalam posisi mentok itu mestinya Sumbar berbenah. Sumbar harus mencari sumber ekonomi baru untuk meningkatkan Pertumbuhan Ekonominya. Apakah mau fokus di pariwisata, UMKM atau pendidikan atau hilirisasi dari pertanian. Intinya, Sumbar sudah harus melakukan inovasi baru ekonomi agar tak terpuruk terlalu jauh.
Kini momentum itu sudah lepas. Ekonomi sudah terlanjur rontok. Salah satu jalan adalah melakukan pembenahan fundamental ekonomi Sumbar. Recofusing program dan fokuskan program ekonominya kemana. Jangan sampai stigma bahwa investasi besar tak masuk, sebaliknya investasi kecil juga tak terlindungi. Intinya, lakukanlah pembenahan menyeluruh agar kita tak abadi di posisi juru kunci.
Selain memaparkan data dan temuannya, Wery juga sangat menyangkan sikap berkilah dari pejabat Pemprov Sumbar. Capaian gini ratio yang baik dilabelkan sebagai pertumbuhan ekonomi berkualitas juga tidak tepat.
“Itu tak benar, gini ratio kecil itu sudah dari masa lalunya. Kalau kita baca data secara komprehensif, gini ratio mengecil salah satunya karena penurunan pendapatan dan daya beli yang mulai merata. Implisitnya, penurunan kesenjangan kaya dan miskin karena makin menurunnya orang pendapatan tinggi dan makin banyaknya orang berpendapatan rendah. Baca betulah data-data itu dengan komprehensif,” ujar mantan Rektor Unand itu.
Sementara itu peneliti dari Unand Fajri Muharja mengungkapkan, secara data Sumbar itu di masa lalu tertolong oleh modal sosial yang kuat antara ranah dan rantau. Ranah dan rantau termasuk salah satu penyebab membaiknya gini ratio.
“Ini hasil penelitian. Kalau mau berdebat mari kita perdebatkan secara ilmiah. Selain itu, program kerja yang fokus dan terarah membuat ekonomi Sumbar menjadi tumbuh bagus serta stabil,” kata Fajri.
Dari data yang ada terbaca jelas, ada triger dan stimulus dari pemerintah dalam menjaga dan menumbuhkan perekonomian. Ada yang berasal dari APBD dan ada pula capital inflow yang masuk melalui lobi-lobi ke APBN.
Pada masa lalu, pertumbuhan dan pembangunan infrastruktur berjalan maksimal. Akses jalan dan irigasi serta infrastruktur lain terbangun dengan baik. Selain itu program-program pemberdayaan ekonomi juga berjalan baik. Inilah yang berdampak pada stabil dan bagusnya pertumbuhan ekonomi.
“Data menunjukan, tahun 2005-2020 adalah masa ke-emasan pertumbuhan ekonomi Sumbar. Di era itu, perekonomian Sumbar selalu diatas 6 persen kecuali 2009 karena bencana Gempa 30 September. Namun setahun setelah itu mampu bangkit kembali,” ujar Fajri Muharja.
Duduak Basamo
Satu pembeda antara Sumbar dengan provinsi lain adalah capital sosial. Masyarakat Sumbar ini mempunyai rasa memiliki yang kuat terhadap kampung halamannya. Keterpanggilan untuk sato sakaki membangun nagari terpatri kuat dalam sanubarinya. Inilah potensi besar yang harus difasilitasi. Ingat, ada petuah Minang berbunyi, “duduak surang basampik sampik, duduak basamo balapang-lapang.”
“Kami dulu waktu baru dilantik, melibatkan semua unsur untuk menentukan arah Sumbar lima tahun dan 25 tahun ke depan (RPJM dan RPJP). Beberapa minggu setelah kami dilantik (Gamawan-Marlis Rahman—red), kami hadirkan seluruh mantan gubernur. Mulai dari Pak Harun Zein sampai Pak Zainal. Sebelum memulai perencanaan masa depan, kita minta para sepuh ini memberikan wejangan. Pak Harun mengungkapkan bagaimana memulihkan mentalitas ranah pasca-PRRI. Pak Azwar menceritakan bagaimana menyelamatkan ekonomi Sumbar dan menghadirkan kemajuan. Pak Hasan bercerita bagaimana keberlanjutan pembangunan dan merajut pemerintah antar-tingkatan. Intinya, sari pati pemikiran para sepuh inilah yang dijadikan titik awal perencanaan,” kata Gamawan.
Selain menghadirkan sesepuh, ‘rapat akbar’ rakyat ini juga melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Para pemikir dari Unand, UNP, Universitas Muhamadiyah, Universitas Bung Hatta dan Universitas, lainnya dilibatkan dan dihadirkan sebagai tim perumus.
Pelaku ekonomi juga ikut merancang dan merumuskan road map ekonomi Sumbar ke depan. Mulai dari Kadin, Asita, PHRI, REI, HIPMI dan organisasi profesi di bidang ekonomi lainnya. Di kalangan budaya, ulama dan pers juga begitu. Intinya, semua pihak dilibatkan.
“Satu lagi, seluruh bupati dan wali kota juga ikut berkontribusi pemikiran. Empat hari empat malam kita bersama sama merumuskan itu di Gedung Tri Arga Bukittinggi. Dari rembukan dan perumusan bersama inilah input utama untuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Jangka Panjang lahir,”‘ ujar Gamawan.
Kenapa bupati/wali kota-nya ikut? Karena Sumbar ini butuh kolaborasi. Provinsi tak akan maju tanpa kabupaten dan kota. Begitu juga sebaliknya. “Untuk memastikan Kepala Daerah, ini saya dan Pak Marlis langsung berkontak telpon dengan seluruh Kepala Daerah di samping surat undangan turun menyusul. Artinya, kita sentuh rasa ber-Kepala Daerahnya. Tidak dalam perumusan arah pembangunan saja, dalam berbagai hal strategis lain, kadang saya turun dan menemui bupati dan wali kota,” kata Gamawan, mantan Bupati Solok dua periode ini.
Itu dari perencanaan jangka menengah. Untuk jangka pendek, sebelum menyiapkan KUA dan PPAS setiap tahun kembali dilakukan pertemuan. Baik dengan non-government ataupun dengan kabupaten dan kota.
“Sekali tiga bulan kita hadirkan bersama-sama seluruh kepala daerah, dengan prinsip duduk sama rendah tagak sama tinggi. Kita evaluasi perencanaan yang kita buat bersama, dimana letak kekurangannya dan apa yang harus dilakukan ke depan,” ujar Gamawan.
Untuk membangun kebersamaan, tuan rumah Rakor Kepala Daerah digilir setiap periodenya. Bisa jadi balutan kebersamaan inilah yang membuat sekat antar pemerintahan menjadi sirna. Dari sini pulalah keinginan se-ayun selangkah membangun ranah terjadi.
Kolaborasi yang sama dan pemberlakuan yang sama juga dilakukan untuk stake holder yang lain. “Sebagai gubernur dan wakil gubernur kami menyadari betul posisi kami sebagai fasilitator daerah. Sejatinya pembangunan daerah adalah tanggungjawab bersama. Itulah modal utama kita dalam membangun ranah,” kata Gamawan.
Bangun Pendidikan
Sebagai ranah pelahir cendikiawan, pemprov di zaman Gamawan memberikan skala prioritas pembangunan ke sektor pendidikan. Kita harus memacu kualitas pendidikan di ranah. Kanalisasi bagi anak didik dilakukan sedari awal. Mana yang cocok masuk ke perguruan tinggi, mana yang pas masuk ke tenaga terampil, dilakukan sedari awal.
“Kita lakukan tes kemampuan intelektual (IQ) untuk pendidikan ini. Kita berikan insentif. Mulai dari beasiswa bagi anak didik maupun bagi tenaga pendidik untuk masuk ke strata 2. Begitu juga di tingkat perguruan tinggi. Kita lahirkan program 1.000 doktoral. Kita suport Unand, UNP, UBH dan universitas lainnya untuk menyekolahkan dosen dosennya ke strata 3. Kenapa? Sumbar sedari dahulu adalah lumbung cendikiawan. Sumbar harus menempatkan diri sebagai provinsi terbanyak dan berkualitas para guru besarnya,” kata Gamawan.
Begitu juga untuk pendidikan agama. Bagi santri-santri yang ingin menimba ilmu ke Timur Tengah juga dibiayai. Tidak itu saja, asrama mahasiswa di Kairo Mesir-pun dibangun kala itu untuk melahirkan ulama-ulama cerdas di masa mendatang.
Sama halnya dengan Masjid Raya. Konsep awalnya Masjid Raya tidak semata untuk tempat beribadah. Masjid Raya ini dirancang menjadi Islamic Centre. Dari sinilah para ulama melahirkan pemikiran cerdas untuk umatnya. Itu pulalah dasarnya dalam konsepnya dibangun Gedung LKAAM, dan MUI. Inikan tigo tungku sajarangan, tali tigo sapilin.
Secara ekonomi, pendidikan memiliki dampak ekonomi lebih besar dan nyata. Pendidikan ini jauh lebih terasa dampak ekonominya dari pariwisata. Kalau wisatawan hanya kunjungannya paling lama seminggu. Sementara pendidikan tinggi, setidak tidaknya empat tahun. Bayangkan betapa besar putaran ekonominya. *(ze/bersambung).






