Wisata

Menikmati Damainya Muaro Mati di Tiku Selatan

3
×

Menikmati Damainya Muaro Mati di Tiku Selatan

Sebarkan artikel ini

Pariaman, hantaran.Co–Di antara suara angin yang menyapu perlahan dan gemericik air yang tenang, Muaro Mati di Tiku Selatan, Kecamatan Tanjung Mutiara, Padang Pariaman, menjelma menjadi ruang baru bagi siapa saja yang ingin jeda sejenak dari riuhnya kehidupan sehari-hari. Kawasan ini mungkin masih terdengar asing bagi sebagian orang, namun bagi mereka yang pernah duduk di rumput hijaunya, menyandarkan punggung pada tiupan angin yang lembut, Muaro Mati adalah destinasi yang mudah membuat rindu.

Tidak ada loket tiket di gerbang masuknya. Pengunjung cukup membayar parkir yang dikelola oleh masyarakat setempat, sebuah sumbangan kecil untuk menjaga kawasan tetap hidup dan ramah. Sisanya, pengunjung bebas memilih cara menikmati hari baik dengan duduk santai, menggelar tikar, berfoto, atau sekadar berjalan menyusuri tepian muaro yang tenang.

Untuk mencapai lokasi ini pun tidak sulit. Dari Stasiun Pasar Pariaman, perjalanan menuju Muaro Mati menempuh waktu lebih kurang 45 menit dengan mobil pribadi, atau sekitar 37 kilometer melalui jalur utama yang menghubungkan pusat kota dengan kawasan pesisir Tiku. Jalannya relatif mulus, dan sepanjang perjalanan pengunjung dapat menikmati pemandangan bukit dan kebun kelapa yang berdiri di sisi kiri-kanan.

Sesampainya di kawasan Muaro Mati, pengunjung langsung disambut panorama yang unik muaro tenang di satu sisi dan hamparan pantai di sisi lainnya, dua lanskap berbeda yang bertemu dalam satu bingkai pandang.

Rumput hijau terhampar luas di sepanjang tepian muaro, menyediakan ruang untuk duduk santai atau menggelar tikar bersama keluarga. Bagi pengunjung yang tidak membawa alas sendiri, pedagang setempat menyediakan sewa tikar dengan harga terjangkau.

Di antara keramaian yang ramah itu, Nisa (27), pengunjung lokal yang tinggal di Tiku, terlihat duduk menikmati bekal bersama saudara dan temannya. Ia mengaku sering datang ketika libur akhir pekan. “Di sini suasananya tenang sekali. Dekat dari rumah, tapi rasanya seperti liburan. Anginnya sejuk, tempatnya luas, enak untuk kumpul,” ujarnya tersenyum.

Tidak jauh dari tempat Nisa duduk, tampak Siska (25), pengunjung dari luar daerah, sedang sibuk mengabadikan momen pertamanya di Muaro Mati. Baginya, kawasan ini jauh melebihi dugaan.

“Ini pertama kali saya ke sini, dan jujur tempatnya unik banget. Ada muaro yang tenang, terus pantai juga kelihatan dalam satu pandangan. Banyak spot foto yang cantik, tapi yang paling saya suka suasananya menenangkan,” katanya sambil mengatur posisi ponselnya.

Salah satu daya tarik unik tempat ini adalah keberadaan gerombolan kerbau yang sesekali muncul dari balik pepohonan di sisi muaro bagian belakang. Hewan-hewan itu biasanya berendam perlahan di air dangkal, menciptakan pemandangan natural yang jarang ditemukan di kawasan wisata modern. Pengunjung sering berhenti sejenak, kagum melihat bagaimana alam dan kehidupan berjalan beriringan tanpa tergesa, tanpa gangguan.

Tak jauh dari area utama, berdiri Masjid Sirah, bangunan bercat putih bersih dengan kubah merah yang mencolok. Selain menjadi tempat beribadah, masjid ini juga menjadi salah satu spot favorit untuk berfoto. Kontras warnanya dengan lanskap sekitar membuat banyak pengunjung memotret masjid sebelum pulang.

Pada akhir pekan dan hari libur panjang, kawasan ini biasanya dipenuhi pengunjung dari berbagai daerah. Anak-anak berlarian di rumput, pedagang sibuk melayani sewa tikar atau menjual jajanan ringan, sementara orang dewasa bercengkerama di bawah rindangnya pepohonan. Meski ramai, Muaro Mati tetap mempertahankan ketenangannya yang membuat banyak orang ingin datang kembali.

Muaro Mati adalah pengingat bahwa menikmati alam tidak harus mahal. Terkadang, cukup dengan tikar, angin sepoi-sepoi, dan kebersamaan, kita sudah mendapatkan liburan yang sebenarnya. Dan di Tiku, tempat itu kini bernama Muaro Mati