BeritaPeristiwa

Kaum Adat Mentawai Kirim Surat Resmi Terbuka Kepada Menhut R.I

5
×

Kaum Adat Mentawai Kirim Surat Resmi Terbuka Kepada Menhut R.I

Sebarkan artikel ini

PADANG, HANTARAN.Co – Suara Kaum Adat Mentawai (Sukar Mentawai) resmi mengirimkan surat terbuka kepada Menteri Kehutanan Republik Indonesia, Raja Juli untuk mendesak pembatalan izin Pengelolaan Berbasis Perhutanan Hutan (PBPH) PT Sumber Permata Sipora (SPS) yang akan menebang hutan alam seluas 20.706 hektar di Pulau Sipora.


Surat tersebut diterbitkan pada Rabu (3l/12/2025) sebagai bentuk penolakan tegas masyarakat adat terhadap rencana eksploitasi hutan di pulau kecil itu.


Koordinator Sukat Mentawai, Robert Choi Sudarno, menegaskan bahwa Pulau Sipora tidak memiliki daya tampung ekologis untuk menghadapi penebangan hutan berskala besar. Ia menyebut aktivitas tersebut akan memperbesar ancaman bencana ekologis, seperti banjir dan longsor, yang baru-baru ini melanda Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh.


“Pulau ini terlalu kecil untuk menampung cita-cita negara yang begitu besar dan luas. Ada kehidupan yang kami rawat, ada kematian yang dinantikan, tapi tidak dengan cara hanyut terbawa banjir, terkubur lumpur, membusuk dan bahkan di tembak mati di tanah yang seharusnya menghidupi kami,” katanya, Jumat (5/12/2025).


Menurutnya, intensitas banjir di wilayah kecil seperti Sipora akan berubah drastis setelah hutan ditebang. Sebanyak sepertiga dari luas Pulau Sipora berada dalam konsesi PT SPS sebuah kebijakan yang dinilai sangat membahayakan keselamatan masyarakat Mentawai.


Robert menegaskan bahwa bencana ekologis yang baru-baru ini melanda Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh seharusnya menjadi alarm kuat bagi pemerintah. Menurutnya, dampak kerusakan yang terjadi di tiga provinsi tersebut tidak semata-mata disebabkan curah hujan tinggi, melainkan juga akibat berkurangnya tutupan hutan.


“Kami takut membayangkan bencana ekologis yang akan terjadi jika penebangan dilakukan di sepertiga pulau kami,” ujarnya


Menurutnya, masyarakat Mentawai memiliki pengalaman dalam membedakan tingkat keparahan banjir sebelum dan sesudah penebangan hutan.


“Dengan intensitas hujan yang sama, banjir akan jauh lebih parah setelah hutan kami ditebangi,” ujarnya.


Ia mendesak Menteri Kehutanan untuk tidak menjadikan masyarakat adat Mentawai sebagai “calon korban” dari kebijakan yang dianggap hanya menguntungkan korporasi. SUKAT meminta pemerintah pusat mengutamakan keselamatan warga dan keberlanjutan ekosistem Pulau Sipora.


“Biarlah hutan Mentawai tetap kami jaga dengan budaya hutan kami yang terbukti ramah ekosistem dan ramah iklim,” ujarnya.


Robert berharap Menteri Kehutanan mempertimbangkan kembali keputusan tersebut dan mendengarkan suara masyarakat adat yang selama ini menjaga hutan dengan kearifan lokal.
“Kami meminta Pak Menteri untuk membatalkan PBPH PT Sumber Permata Sipora.

Biarlah hutan Mentawai kami jaga dengan budaya hutan kami yang sudah terbukti ramah ekosistem dan ramah iklim,” tutupnya. (h/Dna)

Penulis: Ramadhana