Di sisi lain, pertambangan emas ilegal (PETI) juga terus merusak bentang alam tanpa kendali. Walhi mencatat kerusakan akibat PETI di empat kabupaten telah mencapai 7.662 hektare, masing-masing tersebar di Solok Selatan (2.939 hektare), Solok (1.330 hektare), Sijunjung (1.174 hektare) dan Dharmasraya (2.179 hektare). Angka ini belum termasuk kerusakan masif di Agam, Padang Pariaman, Pasaman Barat, dan daerah lainnya.
“Pemda tidak bisa mengelak dari tanggung jawab ketika 200 hingga 300 titik tambang ilegal yang diakui sendiri oleh Pemprov telah menimbulkan kerugian hingga Rp9 triliun,” ujar Wengki.
Walhi juga menyoroti ironi kebijakan Pemprov Sumbar yang pada 2025 justru mengusulkan 17.700 hektare lahan di 10 kabupaten sebagai Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR). Alih-alih memulihkan kerusakan, kebijakan ini dianggap memperluas jejak eksploitasi yang sudah akut.
Wengki mengingatkan bahwa krisis ekologis tidak terjadi dalam semalam. Kerusakan hutan, penjarahan DAS, serta tata ruang yang semrawut telah berlangsung lintas generasi. Semua kerusakan itu kini terakumulasi dan memicu frekuensi bencana yang semakin rapat dengan dampak yang semakin luas.
“Bencana hari ini bukan kejadian hari ini. Ini hasil kegagalan tata kelola selama 30–40 tahun. Pemerintah harus berhenti saling menyalahkan dan mulai berlomba mengambil tanggung jawab,” ujarnya.
Untuk itu, Walhi Sumbar mendesak pemerintah untuk melakukan audit lingkungan menyeluruh, menghentikan sementara seluruh izin bermasalah, serta melakukan pemulihan ekologis secara sistematis dan terukur, terutama di wilayah hulu DAS yang telah mengalami degradasi parah. “Pulihkan! Jangan hanya berebut cuci tangan di atas reruntuhan hidup masyarakat lemah tak berdosa,” tutur Wengki.






