Sumbar

Gubernur dan Menhut Harus Bertanggung Jawab Terhadap Kerusakan Ekologis di Sumbar

4
×

Gubernur dan Menhut Harus Bertanggung Jawab Terhadap Kerusakan Ekologis di Sumbar

Sebarkan artikel ini
gubernur

Eksploitasi Lahan Sawit

Selain pembalakan dan penambangan ilegal, alih fungsi lahan sawit juga disebut-sebut sebagai biang keladi bencana ekologis di Sumbar. Walhi menyatakan, di kawasan hulu DAS Timbulun, Kecamatan Bungus Teluk Kabung, Kota Padang yang selama ini menjadi benteng ekologis antara Padang dan Pesisir Selatan ditemukan dugaan pembukaan hutan secara sistematis untuk perkebunan sawit seluas ±129 hektare. Padahal, wilayah tersebut berstatus hutan lindung, yang secara hukum tidak boleh dibuka, apalagi dialihfungsikan untuk kepentingan komersial.

Ketua Divisi Penguatan Kelembagaan dan Hukum Lingkungan Walhi Sumbae, Tommy Adam menuturkan, kerusakan tersebut bukan lagi skala kecil, bukan pula kesalahan teknis di lapangan, tetapi indikasi kuat adanya aktivitas terencana yang melanggar hukum dan mengorbankan keselamatan ribuan jiwa di hilir.

Overlay peta SK 35/Menhut-II/2013 dengan citra tutupan lahan terbaru menunjukkan dengan sangat jelas bahwa lebih dari 129 hektare kawasan lindung telah dibuka. Ini pelanggaran nyata, bukan sekadar kelalaian. Ini bentuk pengabaian terhadap sistem penyangga ekologis yang melindungi Kota Padang,” ujar Tommy kepada Haluan, Jumat (5/12).

Menurut Tommy, hilangnya tutupan hutan di hulu DAS membawa konsekuensi langsung dan sangat berbahaya. Hutan lindung yang selama ini menahan dan menyerap air hujan berfungsi sebagai rem alami bagi aliran air ke hilir. Ketika fungsi itu dihancurkan, air turun dengan deras tanpa kendali, memperbesar risiko banjir bandang, longsor, dan pendangkalan sungai.

“Kerusakan 129 hektare itu bukan angka administratif. Itu ancaman nyata bagi masyarakat di Bungus Teluk Kabung hingga Pesisir Selatan. Erosi meningkat, sungai menghitam dan dangkal, irigasi tersumbat, dan dalam musim hujan potensi banjir akan sangat besar. Keuntungannya mungkin dirasakan segelintir orang, tapi kerugiannya ditanggung seluruh warga,” ucapnya.

Selain ancaman hidrometeorologis, Walhi juga mengingatkan dampak ekologis lainnya: hilangnya habitat satwa liar, rusaknya rantai ekosistem, dan meningkatnya konflik manusia-satwa.

Kawasan Hutan Lindung Timbulun selama ini dikenal sebagai rumah bagi berbagai spesies yang menjaga keseimbangan ekologis. Ketika habitat itu dibabat, satwa terpaksa turun ke permukiman warga dan menciptakan masalah baru yang selama ini tak diperhitungkan para perusak hutan.