Perubahan penggunaan lahan merupakan perubahan suatu kawasan yang awalnya berupa resapan menjadi kawasan terbangun. Kawasan terbangun ini terjadi, karena sebagian besar daerah resapan dibangun untuk dijadikan sebagai tempat perkembangan kota, industri, ekonomi, dan pemukiman. Peningkatan jumlah penduduk yang memerlukan pemukiman menjadi pemicu berkurangnya daerah resapan, yang mengakibatkan peningkatan aliran permukaan (banjir). Perubahan fungsi lahan di Sumatera Barat akan sangat berpengaruh pada siklus hidrologi terutama proses peresapan air ke dalam tanah. Pendirian suatu bangunan menyebabkan lahan tersebut menjadi lebih kedap air dibanding keadaan semula.
Jumlah air yang meresap ke dalam tanah akan menurun dengan drastis atau bahkan tidak ada sama sekali sehingga aliran air permukaan akan meningkat. Kepadatan bangunan yang makin meningkat mengakibatkan kualitas keseimbangan lingkungan semakin menurun. Berkurangnya kawasan resapan air dapat mengurangi kemampuan dalam fungsinya sebagai kawasan penyangga lingkungan. Berkurangnya kawasan resapan air akan berakibat run-off air yang semakin besar. Hal tersebut akan berdampak pada timbulnya bencana banjir di kawasan setempat atau bahkan di kawasan lain diluar kawasan penyangga. Seperti di Kabupaten Sijunjung dan Kabupaten Dharmasraya, kedua daerah ini mengalami kerusakan lahan, kehilangan hutan dan sawah hingga tercemarnya Daerah Aliran Sungai (DAS).
Adapun faktor lain penyebab terjadi bencana Banjir 2 tahun terakhir di Provinsi Sumatera Barat yaitu alih fungsi lahan, perubahan hutan menjadi perkebunan, permukiman, atau area industri mengurangi kemampuan tanah untuk menyerap air hujan, yang menyebabkan limpasan permukaan (run-off) yang cepat dan volume air sungai meningkat drastis. Menurut analisis Walhi Sumbar, Sumatera Barat kehilangan 320 ribu hektare hutan primer lembap dalam kurun 2001-2024. Secara keseluruhan, sekitar 740 ribu hektare tutupan pohon hilang dalam dua dekade terakhir. Tahun 2024 saja, deforestasi mencapai 32 ribu hektare, menjadikan Sumbar salah satu provinsi dengan tingkat kehilangan hutan tertinggi di Sumatra.
Penyusutan lahan sawah, sekitar 875 hektare lahan sawah di Kota Padang menyusut akibat alih fungsi. Kondisi serupa terjadi di Sumatera Barat, antara lain DAS Anai, Antokan, Banda Gadang, Masang Kanan, Masang Kiri, dan Ulakan Tapis. Penggunaan lahan di enam DAS tersebut didominasi APL dengan proporsi 45 sampai 98 persen. Tindakan ini menyebabkn deforestasi dimana terdapat hilangnya tutupan pohon, terutama di kawasan hulu sungai, menghilangkan fungsi alami hutan sebagai penyimpan air (reservoir alami) dan penahan erosi.
Banyaknya lahan yang beralih fungsi menjadi daerah pemukiman akibat pertambahan penduduk, menyebabkan berkurangnya daerah resapan, yang akan menimbulkan banjir. Jika intensitas hujan tinggi, laju sedimentasi meningkat, sehingga terjadi pendangkalan sungai, yang menyebabkan luapan air (banjir). Aliran yang dilewati DAS Arau merupakan kawasan padat penduduk, di mana banyak terdapat kegiatan industri pada daerah sepanjang aliran sungai. Hal ini berakibat terjadinya pencemaran air akibat limbah industri yang dibuang ke sungai.
Perubahan tata guna lahan mengakibatkan peningkatan koefisien resapan, faktor ini menghasilkan tingginya limpasan permukaan yang menyebabkan terjadinya banjir. Belum adanya aturan yang menetapkan besarnya luas dan jenis penggunaan lahan yang dapat menyerap air agar banjir dapat dikurangi, menyebabkan masyarakat serta developer senantiasa dapat menggunakan lahan hijau menjadi lahan pemukiman. Untuk mengatasi penggunaan lahan, perlu dilakukan analisa luasan daerah hutan, luasan daerah perkebunan dan luasan daerah sawah yang dapat menyerap air, sehingga banjir dapat dikurangi.
Selanjutnya, BPBD Kabupaten/Kota, dan Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota terkait solusi yang berada di Provinsi Sumatera Barat kedepannya harus mengedepankan pengelolaan tata ruang dan lahan, menerapkan penataan tata ruang yang ketat dengan melakukan pemetaan geologi pada daerah rawan bencana dan memperketat izin pembangunan di area resapan air. Menghindari pembangunan pemukiman di bantaran sungai atau daerah resapan air sangat penting, rehabilitasi lingkungan hidup (Penghijauan), melakukan penanaman kembali (reforestasi) di daerah hulu sungai dan meningkatkan ruang terbuka hijau (RTH) untuk meningkatkan daya serap air tanah. Pengelolaan sumber daya air terpadu, melakukan pengelolaan sumber daya air secara terpadu, termasuk pembuatan sumur resapan air, untuk mengendalikan volume air permukaan.
Selanjutnya, pembangunan infrastruktur mitigasi struktural, membangun atau memperkuat infrastruktur fisik seperti bendungan, tanggul, sistem drainase yang lebih baik, dan melakukan perkuatan lereng di daerah rawan longsor, misalnya dengan grooving beton. Selain itu, juga perlu adanya peningkatan sistem peringatan dini, mengembangkan dan mengimplementasikan sistem peringatan dini bencana yang efektif dan terintegrasi, yang didukung oleh data BMKG dan dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat, termasuk melalui konversi peta rawan bencana ke platform digital seperti Google Maps.
Pemberian edukasi dan kesiapsiagaan kepada masyarakat juga perlu dilakukan, meningkatkan kesadaran dan kapasitas masyarakat melalui penyuluhan dan simulasi bencana secara berkala. Hal ini memastikan warga mengetahui rute evakuasi dan tindakan yang harus dilakukan saat bencana terjadi. Tidak lupa juga perlu dilaksanakan investigasi mendalam penyebab bencana, pemerintah Sumatera Barat didesak untuk menginvestigasi penyebab mendasar banjir dan longsor yang berulang, termasuk potensi perubahan kontur alam akibat eksploitasi sumber daya, untuk merumuskan solusi yang lebih tepat sasaran.
Oleh : M Rafi Ariansyah S.AP, M.AP
(Dosen Administrasi Publik/Pengamat Lingkungan)






