Dalam kerangka ilmu kebencanaan, ketepatan data juga sangat menentukan kelancaran proses Kajian Kebutuhan Pascabencana atau Post-Disaster Needs Assessment (PDNA). PDNA menjadi langkah strategis untuk melakukan kajian ulang terhadap risiko, tata ruang, hingga sistem mitigasi agar wilayah lebih siap menghadapi bencana berikutnya.
“Redesign peta risiko dan tata ruang hanya bisa dilakukan bila data kerugian benar-benar mencerminkan realitas di lapangan,” jelas Pakhrur Razi. Tanpa fondasi data yang akurat, kebijakan mitigasi dapat meleset dan kembali menimbulkan kerentanan baru.
Ketidakseragaman data, lanjutnya, dapat menimbulkan sejumlah dampak negatif, mulai dari lambatnya proses bantuan akibat tarik ulur perencanaan anggaran, hingga munculnya konflik sosial karena ketimpangan distribusi bantuan. Dalam kasus tertentu, pemulihan yang tidak tepat sasaran dapat memicu krisis ekonomi maupun pengungsian berkepanjangan.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, ia menilai perlu dibangun sebuah sistem nasional yang menyatukan mekanisme pendataan lintas lembaga. Sistem tersebut harus mampu menyajikan satu peta kerusakan terpadu yang dapat digunakan bersama oleh pemerintah, akademisi, lembaga sosial, dan pihak swasta.
Selain itu, metodologi pendataan harus seragam dan berbasis sains kebencanaan, mulai dari analisis fisika, spasial, hingga hidrologi. Platform data terbuka juga diperlukan agar semua pihak dapat memberi kontribusi dan melakukan verifikasi silang. Dengan demikian, proses pemulihan pascabencana dapat dilakukan secara lebih cepat, tepat, dan akuntabel.







