Padang, hantaran.Co–Ombak pagi di Muaro Gantiang biasanya membawa cerita baik, perahu-perahu yang kembali dengan ikan segar, tawa anak-anak nelayan yang menunggu ayah mereka pulang, dan aroma asin laut yang menyejukkan. Namun sudah lebih dari dua pekan terakhir, seluruh ritme hidup di kampung nelayan tua itu terhenti.
Pantai Padang yang dulu menjadi nafas hidup ratusan keluarga kini berubah rupa, dipenuhi gelondongan kayu berbagai ukuran, dari pangkal yang sekeras batu hingga serpihan-serpihan batang yang tak lagi dikenali bentuknya.
Kayu-kayu itu berserakan sejauh mata memandang. Mulai dari pantai Patenggangan, Parupuk Tabiang hingga ke sejumlah pulau-pulau kecil di Kecamatan Koto Tangah. Tumpukan gelondongan kayu itu tampak membentuk garis luka memanjang nan menyisakan tanya dan kemarahan.
Bahkan menurut Nelayan Muaro Gantiang, beberapa bibir pantai pulau kecil di pesisir laut Kota Padang seperti Pulau Sao, Piai, Pandan, Sibonta, Toran kini juga telah dipenuhi gelondongan kayu tak bertuan saksi keserakahan manusia yang saban hari menebas hutan.
“Gelondongan kayu di Pantai begitu banyak. Kadang kami tidak bisa merapat kembali ke daratan. Terpaksa tidur di pulau-pulau kecil. Gimana lagi, kalau tidak ke laut tidak ada rezeki,” kata Andi (50 tahun), nelayan Muaro Gantiang yang kini hanya bisa duduk menatap laut dari tepi perahunya yang tak bergerak.
Baca Juga : Benny Utama Desak Pemerintah Daerah Selesaikan Data Kerusakan Akibat Bencana
Menurut Andi, kondisi hari ini adalah bukti nyata bahwa alam telah murka. Luasnya lautan tidak menyimpan dusta. Praktek ilegal yang selama ini disembunyikan rapat-rapat dan di diamkan aparat penegak hukum dan pemerintah, kini terpampang nyata. Begitu terang benderang. “Lauik indak manyimpan rahasio. Apa yang terjadi di hulu, kini jatuh ka kami di hilia,” tambah Andi (50), nelayan Muaro Gantiang yang kini hanya bisa duduk menatap laut dari tepi perahunya yang tak bergerak, Selasa (9/12/2025).






