Banner
Feature

Gelondongan Kayu Mengubur Harapan Nelayan Muaro Gantiang

5
×

Gelondongan Kayu Mengubur Harapan Nelayan Muaro Gantiang

Sebarkan artikel ini
Gantiang

Negara Datang Terlambat

Di sepanjang tepian pantai, Haluan menyaksikan perahu-perahu kecil kandas di pasir, beberapa dengan lambung pecah, sebagian nyaris terkubur oleh gelondongan. “Kalau sawah rusak, petaninya dibantu. Kalau jalan rusak, cepat diperbaiki. Tapi kalau laut kami rusak, siapo yang datang?” kata Andi, suaranya berat.

Ini bukan keluhan kosong. Melainkan sebuah jeritan dari kelompok yang paling dekat dengan perubahan iklim, namun paling jauh dari perhatian negara. Pada setiap bencana ekologis, nelayan seolah hanya muncul sebagai catatan kaki, padahal mereka berdiri di garis depan dampak.

Hari itu ombak Pantai Padang memang sedang rendah. Tapi ketakutan tetap tinggal. “Kalau gelombang pasang datang, kayu-kayu ini bisa hancurkan perahu kami lagi. Rumah di pinggir pantai pun bisa hanyut,” ujar Bujang sembari menatap ke arah laut, seakan mencari jawaban pada garis horison.

Muaro Gantiang hari ini bukan sekadar lokasi terdampak. Ia adalah saksi bisu dari kejahatan lingkungan yang sudah terlalu lama dibiarkan. “Indak ado badai nan datang tanpa sebab. Kalau hutan rusak, lauik ka marah. Dan kini kami yang mananggungnya,” tutup Andi.

Siapa yang menandai kayu-kayu itu dengan pilox? Siapa yang memotongnya dengan chainsaw? Siapa yang mengangkutnya selama ini? Dan siapa yang membiarkan? Sementara pertanyaan-pertanyaan itu menggantung, nelayan di Muaro Gantiang terus menunggu. Menunggu laut kembali tenang. Menunggu kayu tersingkir. Menunggu bantuan yang tak kunjung datang dan tentu saja, menunggu negara mengingat bahwa mereka ada. Karena sebagaimana kata orang di kampung itu, “Lauik indak manyimpan rahasio.” Dan hari ini, laut Pantai Padang telah mengungkap semuanya