Tragedi ekologis yang melanda Sumatera kembali menjadi pengingat keras bahwa bencana di negeri ini tidak lagi dapat dipandang sebagai kejadian alam yang berdiri sendiri. Banjir bandang, longsor besar, dan runtuhnya bentang alam yang menelan ribuan korban jiwa adalah akumulasi panjang dari kerusakan ekologis yang dibiarkan berlangsung selama puluhan tahun.
Banyak pihak kini mendorong penggunaan konsep ecocide atau ekosida sebagai mekanisme pertanggungjawaban pidana terhadap negara dan pelaku usaha yang telah merusak hutan, memicu deforestasi, menjalankan penambangan liar, serta mengubah fungsi lahan tanpa kendali. Konsep ecocide merujuk pada konsep genosida dalam hukum internasional tepatnya humaniter, yaitu kejahatan serius yang dilakukan dengan niat mengusir, menghancurkan, melenyapkan baik sebagian atau seluruhnya kelompok suku, agama, ras atau etnis.
Sedang ekosida adalah kejahatan serius yang mencakup tindakan, kelalaian, atau pengetahuan tentang tindakan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan yang ekstrim atau tidak segera dipulihkan dengan tindakan biasa dan cepat, Tindakan mana berdampak luas terhadap keselamatan manusia, ekosistem bahkan secara ekonomi, sosial, dan budaya
Gagasan ekosida memang memiliki tempat penting dalam diskursus hukum lingkungan internasional. Ketika kerusakan dilakukan secara luas, parah, dan berdampak jangka panjang, maka argumentasi mengenai kejahatan ekologis tingkat berat layak dibicarakan. Apalagi, fakta menunjukkan bahwa 10,5 juta hektar hutan Indonesia hilang dalam dua dekade terakhir, menjadikan kita salah satu negara dengan laju deforestasi tercepat di dunia.
Baca Juga : Gelondongan Kayu Mengubur Harapan Nelayan Muaro Gantiang
Angka itu bukan sekadar statistik; ia berubah menjadi cerita manusia. Ada keluarga yang kehilangan rumah, anak yang kehilangan orang tua, dan warga yang hidup dalam trauma panjang setelah tanah, air, dan udara yang selama ini mereka andalkan berubah menjadi ancaman.
Namun, di balik urgensi pembahasan ekosida, saya berpendapat bahwa bangsa ini membutuhkan sesuatu yang jauh lebih fundamental. Diperlukan sebuah pemulihan moral, bukan hanya pemulihan hukum. Kita membutuhkan taubat ekologi sebagai rukun pertama dan syarat mutlak dimulainya perjuangan besar yang saya sebut sebagai jihad ekologi.
Taubat ekologi adalah pengakuan kolektif bahwa kerusakan ini terjadi karena ulah manusia. Bukan semata-mata oleh bencana alam, bukan semata oleh faktor cuaca ekstrem, tetapi oleh pilihan manusia—pilihan yang salah, tamak, dan singkat pandang. Dalam khazanah keislaman, kerusakan muka bumi adalah bentuk fasad fil-ardh, sesuatu yang secara eksplisit dilarang oleh ajaran dan akal sehat kemanusiaan.
Kerusakan ekologis bukanlah fenomena lokal. Ia sedang dan telah terjadi di banyak tempat di bumi kita yang satu ini. Bumi ini satu, ekosistemnya saling terhubung. Apa yang terjadi di hulu Kalimantan berdampak pada hilir di Sumatera; apa yang terjadi di Amazon berpengaruh pada cuaca di Asia Tenggara. Perubahan iklim global membuat bencana mengalir dari satu wilayah ke wilayah lain, mempertegas bahwa kita berada dalam krisis universal yang tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan sektoral.






