Taubat ekologi memuat tiga kesadaran inti. Pertama, pengakuan kesalahan ekologis. Kita harus berani mengakui bahwa deforestasi, ekspansi perkebunan tanpa kendali, pembiaran penambangan ilegal, serta lemahnya tata ruang adalah kesalahan manusia, bukan takdir alam. Kedua, komitmen berhenti merusak. Tanpa penghentian total praktik destruktif, tanpa penegakan hukum lingkungan yang menyentuh para pelaku utama, maka istilah “jihad” akan kehilangan makna moralnya. Ketiga, pemulihan besar-besaran. Reforestasi, restorasi gambut, penataan ulang daerah aliran sungai, dan rehabilitasi kawasan rawan bencana harus menjadi gerakan nasional, bukan sekadar program teknis.
Dengan taubat ekologi sebagai fondasinya, jihad ekologi hadir sebagai perjuangan bangsa untuk memulihkan hubungan manusia dengan alam. Jihad tidak dimaknai sebagai kekerasan, tetapi sebagai kesungguhan total terhadap misi kebaikan. Dalam konteks ini, jihad ekologi adalah komitmen kolektif untuk mencegah kerusakan, memperbaiki kesalahan, dan menjaga keberlanjutan bumi.
Indonesia yang memiliki hutan tropis terbesar ketiga di dunia memikul tanggung jawab besar. Dalam perspektif politik hukum lingkungan, Indonesia tidak boleh hanya menjadi korban bencana, tetapi harus tampil sebagai pemimpin moral dalam gerakan pemulihan ekologis global. Hutan Indonesia adalah salah satu penyangga utama iklim dunia. Melindunginya bukan hanya kewajiban legal, tetapi kewajiban moral dan konstitusional sebagai bangsa.
Jihad ekologi berarti memperkuat seluruh sistem tata kelola lingkungan di Indonesia. Mulai dari perbaikan tata ruang yang sering kali tunduk pada kepentingan jangka pendek, hingga penegakan hukum yang konsisten terhadap pelanggaran lingkungan yang dilakukan oleh korporasi besar maupun aktor lokal. Jihad ekologi juga menuntut keterlibatan masyarakat luas: petani, masyarakat adat, akademisi, lembaga keagamaan, dan organisasi masyarakat sipil.
Kekuatan jihad ekologi terletak pada sifatnya yang menyentuh tiga ranah sekaligus: moral, hukum, dan kebijakan publik. Ia bukan sekadar seruan emosional, tetapi platform perubahan yang dapat membentuk arah pembangunan nasional. Jika negara bisa menggelar program “Revolusi Hijau” pada masanya, maka hari ini negara justru harus menginisiasi “Revolusi Ekologi” yang menekankan kesucian hutan, sungai, dan tanah sebagai sumber kehidupan.
Tragedi Sumatera memberi pelajaran keras: bencana tidak akan berhenti hanya dengan pembangunan fisik mitigasi. Diperlukan perubahan moral yang meluas, komitmen hukum yang kuat, dan keberanian politik untuk tidak lagi menjadikan hutan dan alam sebagai objek eksploitasi.
Saatnya bangsa ini memulai Jihad Ekologi dengan rukun atau tepatnya syarat sahnya: ‘Taubat Ekologi.’ Taubat ekologi adalah sebuah resolusi (seruan moral) untuk berhenti merusak bumi, mengakui kesalahan ekologis yang telah dilakukan, dan membangun gerakan nasional untuk memulihkan alam sebagai amanah konstitusi dan tanggung jawab antargenerasi.
Kegagalan kita memulai jihad ini, maka bencana akan terus mencari jalannya kembali ke rumah-rumah kita. Bila kita memulainya hari ini, maka bukan hanya bencana yang dapat kita cegah—kita juga sedang menyelamatkan masa depan bangsa juga semesta buana.
Oleh
Otong Rosadi
Dosen Filsafat Hukum dan Politik Hukum Universitas Ekasakti, Padang






