Feature

Suara Dari Pengungsian Salareh Aia, Harapan yang Tumbuh di Tengah Luka

0
×

Suara Dari Pengungsian Salareh Aia, Harapan yang Tumbuh di Tengah Luka

Sebarkan artikel ini
pengungsian

Di hamparan tenda pengungsian Salareh Aia, Kecamatan Palembayan, Kabupaten Agam, kehidupan baru terpaksa lahir. Di antara hawa dingin malam dan debu siang yang tak pernah benar-benar reda, ribuan warga mencoba berdiri kembali setelah bencana besar merenggut hampir seluruh ruang hidup mereka.

LAPORAN : DEPITRIADI

WARTAWAN AGAM

Data terbaru per 9 Desember 2025 menunjukkan betapa dahsyatnya terjangan galodo yang melanda Kabupaten Agam. 186 warga meninggal dunia, 72 masih hilang, lebih dari lima ribu orang mengungsi serta ratusan rumah hancur dan puluhan fasilitas publik lumpuh. Namun, dari antara reruntuhan itu, ada cerita yang bertahan, cerita tentang kehilangan, keteguhan dan harapan yang tetap menyala.

Nurhayati (43 tahun) duduk bersandar pada tiang tenda saat kami menyambanginya. Di sampingnya, dua anaknya sesekali memandangi barisan relawan yang hilir-mudik membawa logistik. Ia mengaku masih sulit tidur sejak kejadian itu. Setiap suara keras membuat jantungnya serasa berhenti. “Rumah kami hanyut. Tinggal fondasinya saja. Sampai sekarang saya masih seperti tidak percaya, semua itu terjadi dalam hitungan menit,” ucapnya.

Ia mengaku di tenda pengungsian, hidup berjalan seadanya. Air bersih terbatas, privasi nyaris tidak ada dan cuaca cepat berubah.  “Kami berusaha kuat, tapi kondisi di tenda berat sekali. Malam-malam dingin, kalau hujan becek. Anak-anak sering batuk. Tapi kami bersyukur banyak yang membantu,” kata Nurhayati.

Baca Juga : Gelondongan Kayu Mengubur Harapan Nelayan Muaro Gantiang

Meski begitu, ia menaruh harapan besar pada pemerintah agar proses pemulihan tidak berhenti pada tahap darurat saja. “Kami cuma ingin bisa pulang lagi. Kalau rumah tidak bisa dipakai, kami berharap ada solusi, entah relokasi atau bantuan membangun kembali. Yang penting anak-anak punya tempat tinggal yang layak,” ujarnya.

Berbeda dengan Nurhayati yang kehilangan rumah, Hendra mengatakan rumahnya masih berdiri meski terendam lumpur saat galodo menerjang. Kini rumah itu tidak bisa dihuni. “Kampung kami seperti bukan kampung lagi. Jalan terputus, sawah rusak, jembatan hilang. Banyak tetangga kami meninggal atau masih belum ditemukan. Rasanya seperti mati rasa,” tutur Hendra.