Setiap kali hujan turun, meski hanya gerimis, warga dilanda kecemasan. Anak-anak menatap wajah orang dewasa mencari petunjuk, para ibu memeluk balita lebih erat, dan para lelaki berjaga sepanjang malam. Rasa trauma menggantung di udara seakan tak terlihat, namun terasa begitu dekat.
Setiap pagi, Mak Yusmaniar kembali berjalan pelan menuju bekas rumahnya. Tanpa alas kaki, ia melangkah hati-hati di atas puing-puing reruntuhan. Kadang ia memungut kain yang basah, kadang sendok atau piring yang masih bisa diselamatkan.
Setiap benda kecil itu ia genggam erat, seperti sedang memegang kembali serpihan hidup yang terenggut oleh bencana.
Ada saat ketika ia duduk di atas puing tembok rumahnya. Tangannya mengusap-ngusap serpihan bangunan, seolah masih bisa merasakan jejak suaminya di sana. Matanya berkaca-kaca, pandangannya kosong, seakan berbicara dengan masa lalu yang ikut tertimbun bersama puing-puing bangunan.
Bagi warga Ngalau Gadang, longsor ini bukan sekadar bencana, tetapi titik balik hidup. Suara gemericik air dari dedaunan bisa membuat mereka saling berpandangan dengan cemas. Bahkan, angin dari arah hulu pun cukup membuat mereka bersiap lari.
Di tengah segala kehilangan itu, Mak Yusmaniar tetap menggenggam harapan. Bukan harapan untuk kembali ke rumah lamanya, itu mustahil. Ia hanya berharap ada tangan-tangan baik yang dapat membantunya memulai hidup dari awal. Ia berharap pemerintah menyediakan tempat yang baru dan aman, agar cucu-cucunya tidak tumbuh dalam kecemasan.
Ia tidak meminta banyak. Hanya sebuah rumah kecil di tanah yang tak lagi bergoyang. Sebuah tempat untuk bernaung. Sebuah ruang untuk menutup usia dengan tenang.
Di Ngalau Gadang, pulang tidak lagi sekadar kembali ke rumah. Pulang kini berarti mencari tempat yang mampu menahan kehidupan, bukan ancaman. Tanah mungkin tak lagi menjanjikan, tetapi keinginan untuk bertahan tetap tumbuh.
Mak Yusmaniar adalah wajah dari luka sekaligus harapan baru di kampung itu.
Di antara reruntuhan, ia tetap berdiri meski tubuhnya renta. Matanya berkaca-kaca, bukan hanya karena kehilangan, tetapi juga karena keyakinan bahwa Tuhan tak pernah meninggalkan hambanya.
Dan dari bibirnya, pada setiap orang yang ia temui, hanya satu permintaan yang ia ulang pelan,
“Tolong bantu Amak…”
Kalimat yang sama ia bisikkan setiap malam, di pelataran masjid yang kini menjadi rumah sementaranya.
Karena bagi Mak Yusmaniar dan warga Ngalau Gadang, pulang kini bukan lagi menuju rumah mereka yang hilang, melainkan menuju tempat yang diberkahi Ketabahan dan perlindungan Allah. (h/kis)







