Terjadi jeda waktu yang terlalu panjang antara kejadian dan mobilisasi bantuan yang efektif. Pertanyaan mendasar “siapa melakukan apa, dan di mana?” tidak terjawab dengan jelas. Ini bukan kesalahan satu lembaga, melainkan potret dari sistem yang tidak pernah disiapkan dengan matang. Pemerintah pusat pun terlihat tidak memahami kondisi nyata di lokasi, ditambah kurangnya koordinasi antara berbagai pihak. Korban seperti sekadar dianggap angka statistik, bukan manusia yang sedang berjuang hidup.
Distribusi logistik juga tampak tidak merata. Di posko utama, bantuan menumpuk; sementara masyarakat di daerah terisolasi masih menunggu kebutuhan dasar. Jalur darat yang terputus di puluhan titik akibat rusaknya jalan dan jembatan membuat tim SAR kesulitan menjangkau lokasi. Padahal, evakuasi udara seharusnya dapat segera dimobilisasi untuk wilayah yang benar-benar terputus.
Lemahnya infrastruktur penunjang, khususnya jalur transportasi darat, memperburuk keadaan. Ketika bencana terjadi, tidak ada infrastruktur alternatif yang dapat digunakan, sehingga pemerintah terlihat kebingungan. Situasi makin pelik dengan lambatnya pembaruan data korban, yang pada akhirnya memperlambat penetapan status darurat dan mobilisasi bantuan lintas sektor secara optimal.
Bencana yang terjadi di Sumatera Barat bukan semata-mata akibat cuaca ekstrem. Ini adalah bencana ekologis yang merupakan akumulasi kelalaian panjang dalam pengelolaan lingkungan. Tutupan hutan di hulu daerah aliran sungai (DAS) terus menyusut akibat pembalakan liar, aktivitas ekstraktif dan lemahnya pengawasan. Dampak dari deforestasi dan alih fungsi lahan sangat besar, sebab setiap tanaman memiliki fungsi ekologisnya masing-masing.
Hutan yang seharusnya berfungsi sebagai spons alami kini kehilangan daya serapnya. Penataan ruang pun jauh dari prinsip mitigasi; permukiman dan infrastruktur vital dibangun di zona rawan tanpa kajian risiko yang memadai, sementara bangunan sabo dam untuk menahan aliran lahar juga minim jumlahnya. Kurangnya ketegasan pemerintah terhadap masyarakat yang mendirikan bangunan di daerah aliran air, serta terhadap berbagai pelanggaran tata ruang lainnya, memperparah kerentanan.
Ini merupakan kelalaian yang muncul dari ketidaktegasan dan ketidakkonsistenan pemerintah terhadap aturannya sendiri. Kita seolah menerima risiko tersebut sebagai kewajaran, bukan ancaman.







