Banner
Opini

Setelah Perpanjangan Tanggap Darurat, Lalu Apa?

0
×

Setelah Perpanjangan Tanggap Darurat, Lalu Apa?

Sebarkan artikel ini
tanggap

Banjir dan tanah longsor yang melanda Sumatera Barat, Aceh, dan Sumatera Utara – serta respon Negara – terhadap bencana ini menempatkan Negara pada situasi paling elementer. Respon Negara diperhadapkan langsung dengan keselamatan warganya. Ribuan orang mengungsi, ratusan meninggal dan hilang, sementara sendi-sendi kehidupan sosial serta ekonomi terhenti.  Pada situasi seperti ini, keputusan Gubernur Sumatera Barat memperpanjang status Tanggap Darurat Bencana tidak boleh dipahami sebagai rutinitas birokrasi, melainkan sebagai pilihan politik hukum yang berdampak langsung pada keselamatan warganya. Juga berdampak panjang terhadap penanganan bencana di tahap berikutnya.

Penetapan status bencana sering kali direduksi menjadi urusan administrasi kewenangan: siapa menetapkan, pada level apa, dan untuk berapa lama. Padahal, hukum (peraturan perundang-undangan) yang mengatur kebencanaan justru dibuat untuk memastikan, negara dapat bertindak melampaui kelambanan prosedural ketika berhadapan dengan situasi luar biasa. Undang-Undang Penanggulangan Bencana tidak memposisikan status sebagai tujuan akhir, tetapi sebagai instrumen untuk membuka ruang tindakan cepat, terkoordinasi, dan sah secara hukum.

Masalah muncul ketika ukuran administratif tidak sejalan dengan kenyataan di lapangan. Bencana tidak menunggu keputusan rapat, tidak berhenti pada batas kabupaten atau provinsi, dan tidak tunduk pada kalender anggaran. Ia hadir sebagai fakta sosial yang segera menuntut respons. Ketika dampak meluas, korban bertambah, dan kapasitas daerah terlampaui, maka penahanan status pada skala tertentu justru berpotensi memperlambat pertolongan.

Baca Juga : Direktur PNP Revalin Herdianto Siap Hasilkan Tenaga Kerja Berkualitas

Di Sumatera Barat, perpanjangan masa tanggap darurat seharusnya dibaca sebagai pengakuan bahwa kondisi belum terkendali sepenuhnya. Artinya, fokus kebijakan mesti tetap diarahkan pada penyelamatan korban, pencarian orang hilang, pemenuhan kebutuhan dasar pengungsi, serta perlindungan kelompok paling rentan. Pada fase ini, orientasi pembangunan kembali belum menjadi prioritas utama, kecuali yang benar-benar bersifat darurat dan menyangkut keselamatan publik.

Karena itu, penekanan Gubernur Sumatera Barat (baca: juga sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah) agar bupati dan wali kota menyampaikan data dampak bencana secara akurat menjadi krusial. Data bukan sekadar angka laporan, melainkan fondasi keadilan. Tanpa data yang dapat dipercaya, distribusi bantuan rawan timpang, sebagian wilayah tertangani berlebih sementara yang lain terabaikan. Ketidakakuratan data pada akhirnya bukan hanya persoalan teknis, tetapi masalah administrasi (tata kelola) pemerintahan bahkan hingga pertanggungjawaban.

Lebih jauh, status bencana menentukan struktur komando dan arah koordinasi. Penetapan status, membuka atau menutup akses terhadap sumber daya nasional, bahkan keikutsertaan negara/lembaga asing, memperjelas peran pemerintah pusat, serta menjadi dasar akuntabilitas penggunaan keuangan negara. Status yang tidak proporsional dengan dampak faktual berisiko menempatkan daerah sendirian menghadapi krisis yang melampaui kemampuannya.

Opini

HANTARAN.CO – Musibah kembali melanda Sumatera Barat. Hujan…