Irman mengaku kegelisahannya memuncak usai bencana melanda Sumbar. Ia bahkan menyebut emosinya tersulut saat diminta menyampaikan pandangan dalam sebuah podcast, dipicu oleh derasnya arus informasi di media sosial dan kesan penanganan bencana yang berjalan biasa-biasa saja.
“Saya agak emosional karena membandingkan dengan pengalaman tahun 2004, ketika respon cepat bencana di era SBY–JK terasa sangat berbeda. Manajemen kebencanaan kita sekarang, menurut saya, jauh tertinggal,” ujarnya.
Dari kegelisahan itu pula lahir pernyataan keras Irman yang sempat menuai perdebatan publik, tentang kekayaan alam daerah yang disedot ke pusat, namun ketika bencana datang, daerah seolah menanggung sendiri dampaknya. Menurutnya, kondisi tersebut tak bisa dilepaskan dari melemahnya otonomi daerah.
“Otonomi daerah sekarang nyaris tidak ada. Banyak kewenangan ditarik ke pusat, bahkan urusan galian C sekalipun. Ini semua terjadi atas nama investasi,” katanya.
Irman menegaskan, secara politik dirinya tidak bertanggung jawab atas kebijakan era pemerintahan sebelumnya, mengingat pada periode 2019–2024 ia tengah menghadapi persoalan hukum. Namun kini, kata dia, ia kembali aktif dan merasa memiliki tanggung jawab moral untuk bersuara.
Ia menilai respon pemerintah terhadap bencana di Sumatra Barat hari ini cenderung lamban, termasuk dalam penetapan status bencana. Harapannya agar Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bersikap lebih progresif belum terwujud, yang menurutnya tak lepas dari dinamika di lingkaran kekuasaan pusat.







