“Kita butuh badan penanggulangan bencana yang bekerja secara berkelanjutan, bukan hanya hadir saat bencana terjadi. Selama ini, kita selalu tidak siap dan selalu mengulang pola yang sama,” tegasnya.
Ia menekankan bahwa pengelolaan bencana harus bergeser dari pendekatan responsif menuju mitigasi dan pencegahan jangka panjang. Salah satu langkah krusial, menurut Zul, adalah memasukkan pendidikan mitigasi bencana ke dalam kurikulum sekolah, perguruan tinggi, hingga penguatan nagari siaga bencana.
“Mitigasi bencana harus masuk kurikulum. Dari sekolah, kampus, sampai nagari. Ini investasi jangka panjang untuk keselamatan generasi Sumbar ke depan,” ujarnya.
Zul Herman juga mengungkapkan ironi dunia akademik yang selama ini telah menghasilkan banyak riset dan kajian kebencanaan, namun belum sepenuhnya dimanfaatkan dalam kebijakan publik. Kesenjangan antara pengetahuan ilmiah dan praktik lapangan disebutnya sebagai persoalan serius.
“Riset kita tidak sedikit. Tapi tantangannya adalah bagaimana hasil riset itu diterjemahkan menjadi kebijakan dan tindakan nyata. Di sinilah negara harus hadir,” katanya.
Dalam konteks darurat saat ini, Zul Herman menegaskan perlunya langkah cepat dan konkret untuk mencegah bencana susulan. Ia menyebut pengangkatan sedimentasi dan normalisasi sungai sebagai pekerjaan mendesak yang tidak boleh menunggu lebih lama.
“Sedimentasi harus segera diangkat, normalisasi sungai harus dipercepat. Tanpa status bencana nasional, proses ini menjadi lambat dan berbelit,” ujarnya.





