Ia juga menekankan pentingnya menjadikan momentum bencana ini sebagai titik balik untuk memperbaiki tata ruang di tiga provinsi terdampak. Menurutnya, ketidakkonsistenan dalam menjalankan rencana tata ruang wilayah (RTRW) selama ini telah memperbesar risiko bencana. “Banyak pelanggaran yang dibiarkan. Ini masalah besar, termasuk di nagari. Dengan perubahan alam yang terjadi, posisi permukiman bisa jadi sudah tidak tepat lagi. RTRW nagari harus direview,” katanya.
Buya mencontohkan daerah-daerah berisiko tinggi seperti Salareh Aia dan Palembayan. Ia menegaskan, penanganan bencana tidak boleh berhenti pada fase tanggap darurat semata. “Nyawa manusia tidak ternilai. Nabi mengatakan kehormatan seorang mukmin lebih mulia daripada kehormatan Ka’bah. Kita tidak ingin ada lagi korban jiwa,” tegasnya.
Namun demikian, ia mengingatkan bahwa relokasi warga tidak akan berhasil jika dilakukan tanpa melibatkan tokoh masyarakat dan pemuka adat. Pendekatan teknokratis semata, menurutnya, justru memicu penolakan. “Kalau relokasi dilakukan dengan pendekatan sekarang, saya yakin gagal. Tokoh harus dilibatkan agar masyarakat bisa menerima,” ujarnya.
Buya juga menyampaikan kekhawatirannya terhadap potensi bencana susulan di sejumlah titik, termasuk kawasan Batu Busuk, di mana ia menilai keberadaan SMPN 44 berada dalam ancaman. “Harus ada langkah pencegahan segera. Jangan menunggu korban jiwa baru kita bergerak,” katanya.
Ia menegaskan, penanganan menyeluruh harus mencakup mitigasi jangka panjang, relokasi berbasis tata ruang baru, hingga pemulihan ekonomi warga. Pembangunan hunian sementara (huntara), menurutnya, bukanlah solusi akhir. “Ada sawah yang habis. Potensi ekonomi hilang. Memulihkannya butuh waktu lama. Tapi kehidupan harus berjalan. Sampai hari ini, konsep pemindahan dan sumber penghidupan belum jelas,” ujarnya.
Buya Gusrizal juga mengingatkan tentang dimensi psikososial korban bencana. Ia menyebut, satu bulan pascabencana, korban kerap merasa ditinggalkan dan dilupakan. “Kalau aspek mental ini diabaikan, kita akan menghadapi bencana yang lebih besar daripada bencana alam itu sendiri,” pungkasnya. Seruan Ketua MUI Sumbar ini mempertegas bahwa pemulihan Sumatra Barat pascabencana menuntut kehadiran negara dan seluruh elemen masyarakat secara utuh. Tidak hanya cepat, tetapi juga berkeadilan, bermartabat, dan berorientasi pada keselamatan jiwa.



