Padang, hantaran.Co–— Wacana penetapan status bencana dan penggunaan istilah hidrometeorologis dalam merespons bencana yang melanda Aceh dan Sumatra Barat kembali menuai kritik. Dosen Filsafat dan politik hukum Universitas Ekasakti Padang, Otong Rosadi mengingatkan bahwa kesalahan terbesar dalam penanganan bencana sering kali berawal dari kesalahan memberi makna dan mengambil keputusan sejak awal.
Otong mengungkapkan, ketika bencana terjadi di Aceh pada 26 Novemmber 2025 dan disusul Sumatra Barat pada 27 November 2025 dinihari, ia telah menulis dan menyuarakan pentingnya penetapan status bencana secara tepat dan berani.
“Saya sudah menulis soal penetapan status bencana sejak awal. Karena keputusan di menit-menit pertama itu menentukan arah pemulihan,” ujarnya.
Ia secara khusus mengkritik penggunaan istilah hidrometeorologis yang menurutnya kerap dipakai secara tergesa-gesa dan disederhanakan, bahkan cenderung peyoratif. Padahal, istilah tersebut memiliki makna ilmiah yang tidak sesederhana hujan lebat atau cuaca ekstrem. “Hidrometeorologis itu ilmu. Ia menggabungkan perubahan iklim dan siklus hidrologi. Air itu konstan, tidak berkurang.
Baca Juga : Buya Gusrizal: Koordinasi Tak Jalan, Penanganan Bencana Harus Berbasis Keselamatan Jiwa
Ia hanya berubah bentuk dan tempat, lalu akan mencari jalannya kembali, kata Otong. Menurutnya, ketika istilah tersebut dipakai tanpa pemahaman utuh, maka kebijakan yang lahir pun berpotensi keliru. Kesalahan memaknai bencana, lanjut Otong, adalah kesalahan dalam mengambil keputusan publik.
“Kita tidak boleh sembarangan memakai istilah. Kesalahan kita memberi makna, akan berujung pada kesalahan kita mengambil keputusan,” tegasnya.



