Padang, hantaran.Co— Jurnalis senior Sumatra Barat, Firdaus Abie, mengingatkan bahwa bencana ekologis yang melanda Sumatra Barat belum berakhir. Di balik kerusakan fisik yang tampak, kini muncul dua ancaman serius yang jika diabaikan berpotensi memicu krisis lanjutan: pendangkalan sungai dan retaknya kohesi sosial di tengah masyarakat terdampak.
“Ancaman hari ini bukan hanya longsor atau banjir kemarin, tapi apa yang akan terjadi setelahnya,” ujar Firdaus dalam diskusi respon kebencanaan Sumbar yang diinisiasi senator Irman Gusman di PWI Sumbar Senin (15/12/2025).
Ia menyoroti kondisi sungai-sungai yang mengalami pendangkalan ekstrem akibat sedimentasi pascabencana. Di kawasan Lubuk Minturun, misalnya, pemuka masyarakat setempat memperkirakan ketinggian sedimen di badan sungai telah mencapai sekitar dua meter. “Dengan kondisi seperti itu, hujan sebentar saja sudah cukup untuk membuat air sungai meluber ke permukiman,” katanya.
Baca Juga : Otong Rosadi: Bencana Tak Cukup Diberi Nama, Sumbar Butuh Jihad Ekologis dan Badan Pemulihan Khusus
Firdaus menegaskan, risiko banjir sebenarnya masih bisa diminimalisir apabila sedimentasi segera ditangani. Namun ketika endapan lumpur dibiarkan menumpuk, sungai kehilangan kapasitas alaminya untuk menampung debit air. “Kalau sungainya bersih, hujan deras pun masih bisa ditahan. Tapi sekarang, hujan singkat saja sudah banjir. Ini alarm bahaya yang serius,” ujarnya.
Tak hanya ancaman ekologis, Firdaus juga mengungkap munculnya gejala sosial yang tak kalah mengkhawatirkan. Di sejumlah wilayah terdampak, seperti Kampung Apar, mulai terlihat perebutan bantuan antarwarga, disertai fitnah dan saling curiga. “Ini sudah mulai terjadi. Masyarakat berebut bantuan, muncul fitnah antar sesama. Ini pertanda situasi sosial kita sedang tidak baik-baik saja,” katanya.
Ia menyebut, salah satu pemicu utama kondisi tersebut adalah melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem distribusi bantuan. Warga mulai enggan menyerahkan bantuan ke RT atau posko karena dinilai lamban dan tidak jelas. “Ada warga yang bilang, ‘Kalau kau antar bantuan, tarok di sini saja. Kalau nunggu posko, lama.’ Ini menunjukkan kepercayaan mulai runtuh,” ujar Firdaus.
Menurutnya, ketidakjelasan fungsi dan mekanisme kerja posko bantuan harus menjadi perhatian serius pemerintah dan semua pihak terkait. Jika tidak segera dibenahi, situasi ini berpotensi memicu konflik horizontal di tengah kondisi masyarakat yang masih trauma. Firdaus juga mengkritik pola penanganan bencana yang cenderung hanya masif di awal, lalu cepat mengendur setelah sorotan publik mereda.“Kita ini sering kalibuik ampoknya ketika musibah saja. Satu minggu setelah itu, semua mulai dilupakan,” ucapnya.
Ia menilai, pola tersebut harus diakhiri dengan membangun sistem penanganan bencana yang berkelanjutan. Salah satunya melalui pembentukan lembaga ad hoc yang secara khusus bertugas mengawal proses pemulihan pascabencana. “Kalau ada lembaga ad hoc yang bekerja serius dan konsisten, maka persoalan-persoalan seperti ini bisa dicegah sejak awal,” katanya.
Firdaus menegaskan, pemulihan Sumatra Barat tidak hanya soal membangun kembali infrastruktur yang rusak, tetapi juga merawat kembali kepercayaan sosial yang mulai terkikis. “Kalau sungai dibiarkan dangkal dan masyarakat dibiarkan saling curiga, maka kita sedang menyiapkan bencana berikutnya,” pungkasnya.
Firdaus Abie mengingatkan bahwa bencana sejatinya tidak hanya merusak alam, tetapi juga menguji ketahanan sosial. Tanpa penanganan yang terencana dan berkelanjutan, luka pascabencana Sumatra Barat akan semakin dalam dan sulit dipulihkan.



