Rombak Kebijakan Tata Ruang
Sebelumnya, Pakar Lingkungan Hidup Universitas Negeri Padang (UNP), Prof. Eri Barlian menilai, kerusakan yang terjadi bukan lagi sekadar bencana alam, melainkan bencana ekologis akibat degradasi lingkungan di daerah aliran sungai (DAS) dan lemahnya tata kelola ruang.
Ia mengatakan, kerusakan di Aceh, Sumut, dan Sumbar tak bisa dilepaskan dari campur tangan manusia. Sebab bencana yang terjadi bukan lagi sekadar banjir atau longsor biasa, melainkan sudah masuk kategori bencana ekologis.
“Kalau memang hanya curah hujan yang tinggi, mestinya yang terjadi hanyalah banjir. Tidak akan ada banjir bandang yang membawa kayu gelondongan dalam jumlah sangat besar dan lumpur pekat yang meluluhlantakkan pemukiman. Itu bukti kuat bahwa bentang alam sudah berubah karena ulah manusia,” ujarnya kepada Haluan, Senin (1/12).
Ia menilai maraknya pembalakan liar membuat daerah hulu menjadi kehilangan daya tahan. Ketika hujan berintensitas tinggi datang bersamaan dengan fenomena pasang naik, kawasan tersebut tak lagi mampu menahan laju air.
“Hujan hanya mengakibatkan banjir. Banjir bandang dan longsor justru mengeluarkan seluruh bukti adanya illegal logging (pembalakan liar). Daerah yang curah hujannya tinggi tetapi hutannya terjaga hanya akan mengalami banjir, bukan kehancuran seperti ini,” katanya.
Selain penegakan hukum terhadap illegal logging, Eri menilai kebijakan tata ruang dan tata kelola sumber daya alam (SDA) perlu dirombak total. Sejauh ini ia melihat banyak kajian lingkungan yang disusun pemerintah hanya berhenti sebagai dokumen tanpa implementasi.
“Aturan kajian lingkungan hidup strategis banyak yang diproyekkan sehingga hanya menjadi pekerjaan di atas meja. Dulu ada tim yang rutin turun memonitor kondisi lapangan. Sekarang semua dibatasi atas nama efisiensi, sehingga terjadi salah kaprah yang membuat bentang alam berubah dan hasilnya kita lihat hari ini,” ujarnya.






