Banner
Opini

Bencana Sumatera dan Ketakberdayaan Fiskal

2
×

Bencana Sumatera dan Ketakberdayaan Fiskal

Sebarkan artikel ini
Sumatera

Di sinilah persoalan intinya, yakni keterputusan ikatan fiskal pemerintah pusat dari risiko dan kerentanan yang ada daerah. Kebijakan efisiensi nasional yang awalnya mungkin dimaksudkan untuk menjaga kesehatan anggaran nasional justru berbalik menjadi bumerang. Kapasitas fiskal daerah terkuras, sehingga ketika bencana ekologis melanda, pemerintah daerah nyata-nyata tak memiliki daya tawar dan sumber daya untuk menyelamatkan warganya. Miris!

Situasi kian memburuk akibat keengganan politik pemerintah pusat menetapkan bencana Sumatera sebagai bencana nasional. Keputusan ini membawa implikasi fiskal serius. Tanpa status bencana nasional, pintu Dana Kontinjensi bernilai triliunan rupiah di APBN menjadi tidak mungkin untuk dibuka. Padahal, penetapan tersebut merupakan prasyarat hukum untuk memobilisasi sumber daya negara secara penuh, termasuk TNI, Polri, kementerian terkait, serta dana siap pakai berskala besar.

Keraguan ini sejatinya mencerminkan birokrasi yang kaku di satu sisi dan minimnya kemauan politik untuk menempatkan keselamatan warga sebagai prioritas di sisi lain.  Sebagai justifikasi, alasan teknis kerap kali dikedepankan. Memang, pada hakikatnya ini adalah pilihan kebijakan. Namun masalahnya, ketika kerugian mencapai puluhan triliun rupiah dan pemda kewalahan, negara memiliki tanggung jawab moral dan konstitusional untuk mengambil alih komando dan mengerahkan seluruh daya.

Dampak paling nyata dari ketimpangan pendanaan ini adalah hilangnya kehadiran negara di mata para korban. Bagi warga yang rumahnya tersapu galodo dan kini terisolasi akibat jembatan runtuh, terutama di wilayah yang tak terjangkau transportasi umum, bantuan yang terlambat atau minim menjadi bukti pahit bahwa mereka berjuang sendirian. Ketika satu helikopter BNPB hanya mampu mengirimkan bantuan terbatas sementara ribuan orang menghadapi kelaparan dan keterpaparan, persepsi absennya negara tak terelakkan.

Ketidakpedulian fiskal ini tentu bukan sekadar masalah akuntansi, tapi mencerminkan cacat mendasar dalam tata kelola risiko bencana pemerintahan kita. Pemerintah pusat masih memandang kesiapsiagaan bencana sebagai beban biaya yang harus ditekan, bukan sebagai investasi esensial. Padahal, kerugian pascabencana yang mencapai triliunan rupiah jauh lebih mahal dibandingkan belanja mitigasi yang seharusnya dilakukan sudah sejak lama.

Jika pendekatan “business as usual” ini terus dipertahankan, yakni mengandalkan DSP yang terbatas dan alokasi ad hoc fiskal yang kecil, tragedi di Sumatera akan berulang. Yang dibutuhkan bukan sekadar bantuan simbolik, melainkan sebuah transformasi fiskal kebencanaan, dimulai dari penetapan segera status bencana nasional, pencairan cepat Dana Kontinjensi dalam skala triliunan rupiah, dan yang terpenting, perombakan kebijakan fiskal daerah agar BTT tidak lagi menjadi pos anggaran yang dikorbankan demi efisiensi jangka pendek. Kegagalan mengambil langkah-langkah ini berpotensi menjadi cerminan kegagalan kepemimpinan nasional dalam melindungi rakyatnya dari krisis ekologis yang ujungnya  berubah menjadi tragedi kemanusiaan. Walahualam! (*)

Oleh:

Ronny P. Sasmita

Analis Senior Indonesia Strategic and Economics Action Institution

Opini

Bagaimana dengan Pemerintah Daerah? Mungkin dalam skala masing-masing…