Banner
Opini

Kesadaran Ekoteologis Cegah Kehancuran Bumi Sebelum Waktunya

0
×

Kesadaran Ekoteologis Cegah Kehancuran Bumi Sebelum Waktunya

Sebarkan artikel ini
Bumi

Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah menguraikan, kalimat “air hujan turun dari langit menurut ukuran (bi qadarin),” bermakna turunnya hujan bertahap melalui aturan-aturan sunnatullah. Sains membuktikan betapa rahim-Nya Allah dalam menurunkan hujan. Siklus hidrologi bekerja presisi. Hujan turun bertahap agar tanaman tidak busuk. Awan dengan berat jutaan ton menjadi rintik yang ramah bagi bumi, bukan bom air yang membahayakan.

Hutan adalah paru-paru dunia yang tidak tergantikan fungsinya. Akar pohon besar yang tumbuh di hutan jauh lebih kuat untuk mencegah banjir dan tanah longsor daripada perkebunan yang bersifat monokultur. Hutan mempunyai fungsi alami yang ajeg untuk mengatur air, tanah, iklim, dan tempat bagi keanekaragaman hayati flora dan fauna. Para aktivis lingkungan menyoroti ribuan spesies yang menjaga keseimbangan alam terancam punah jika hutan alam berubah fungsi.

Tim Jurnalisme Data Kompas (12 Desember 2025) mengungkapkan hutan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat menyusut 1,2 juta hektare, atau lenyap hampir 100 hektare setiap hari selama tiga dekade. Perubahan ini mengganggu fungsi hutan yang seharusnya mengendalikan air hujan dan mencegah banjir.

Perubahan status dan fungsi kawasan hutan untuk perkebunan dan pertambangan ke depannya harus lebih selektif. Begitu pula pembangunan ekowisata di kawasan hutan lindung tidak boleh merusak ekosistem.

Di Sumatera Barat, misalnya, pernah dipesankan oleh Bung Hatta kepada pemerintah daerah sejak tahun 1950-an agar hutan Lembah Harau di Kabupaten Agam harus dijaga. Pesan Bung Hatta untuk menjaga hutan alam tentu juga meliputi rimbo gadang Bukit Barisan dan hutan lindung Sumatera serta daerah lainnya di Tanah Air. Siapapun tidak rela bencana terulang di masa mendatang, namun sunnatullah (hukum alam) menetapkan jika mengabaikan sebab, niscaya akan menuai akibat.

Bahasa Agama Menjawab Krisis Lingkungan

Dalam dekade 1990-an krisis lingkungan mengemuka dalam Laporan Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) di Rio de Jeneiro, Brazil pada awal Juni 1992. Pada konferensi yang dihadiri oleh 100 kepala negara dan ribuan peserta pakar lingkungan, ekonom, dan budayawan dari seluruh dunia itu dipaparkan bahwa planet bumi tempat tinggal umat manusia telah kehilangan hutan dan pepohonan seluas 200 juta hektare dan 50 juta ton lapisan tanah subur telah lenyap. Danau, sungai, bahkan lautan menjadi got raksana dan gudang limbah. Lapisan ozon mengalami kerusakan.

Krisis global yang mengancam lingkungan hidup bukan semata-mata disebabkan faktor polusi udara, tetapi sebagian karena dampak teknologi dan keserakahan manusia. Sebuah fenomena baru di dunia dewasa ini bahwa agama dipandang relevan untuk berbicara mengenai isu lingkungan dan perubahan iklim.