Banner
Opini

Alam Tak Lagi Sekadar Guru, Ia Kini Menjadi Hakim

4
×

Alam Tak Lagi Sekadar Guru, Ia Kini Menjadi Hakim

Sebarkan artikel ini
alam

Kita dapat menanam pohon untuk fungsi, bukan simbol, menghidupkan kembali gotong royong ekologis, serta memperhatikan setiap tetes hujan dan setiap tarikan napas tanah sebagai bagian dari kehidupan bersama.bukan sekadar latar belakang kehidupan. Langkah-langkah sederhana ini mungkin tidak terdengar heroik, tetapi justru di sanalah fondasi pencegahan bencana dibangun dari kebiasaan sehari-hari yang konsisten.

Di sisi lain, negara wajib hadir lebih awal, bukan sekadar datang setelah bencana. Sistem peringatan dini tentang potensi banjir di musim hujan atau ancaman kebakaran di musim kemarau harus menjadi bagian dari pelayanan publik yang serius, mudah diakses, dan dapat dipercaya. Informasi yang tepat waktu bukan hanya menyelamatkan harta benda, tetapi juga memberi masyarakat ruang untuk bersiap dan bertindak.

Lebih dari itu, solusi menuntut perubahan cara kita mencintai alam. Di banyak wilayah adat dan hukum masyarakat adat berlaku di Indonesia, hutan tidak dipandang sebagai objek yang bisa dihabiskan, melainkan sebagai ibu sumber kehidupan yang memberi, merawat, dan harus dijaga. Pandangan ini mengajarkan bahwa relasi manusia dan alam seharusnya dibangun atas dasar hormat, bukan semata-mata untung rugi. Mungkin inilah pelajaran yang perlu kita ingat kembali bahwa, menjaga alam bukan pengorbanan, melainkan bentuk tanggung jawab terhadap keluarga besar kehidupan itu sendiri.

Mari kita ubah cara pandang kita kedepan. Manusia bukanlah penguasa tunggal yang berdiri di atas alam, tetapi bagian dari sistem yang lebih besar. Kita membutuhkan kebijakan yang tegas, pengawasan yang konsisten, serta keberanian untuk mengakui kesalahan masa lalu. Dan yang paling penting: berhenti menciptakan dikotomi palsu. Yang diperlukan bukan memilih antara menjaga hutan atau mengambil manfaat darinya, tetapi menata ulang bagaimana keduanya bisa berjalan bersama.

Pada akhirnya, alam akan selalu menagih keseimbangan yang menjadi haknya. Jika manusia terus mengabaikan ritme itu, maka alam akan menulis ulang aturan mainnya sendiri dengan caranya yang tidak selalu lembut. Banjir-banjir ini bukan sekadar peristiwa cuaca, tetapi sebuah pengingat. Bahwa kita mungkin terlalu lama mengabaikan pelajaran dari guru yang selama ini merasa kita puja dalam pepatah, namun jarang kita dengarkan dalam tindakan. Dan seperti semua guru yang baik, alam tidak akan berhenti mengajar hingga kita benar-benar belajar. (*)

Oleh: Okkie Fiandri

Public Finance and Public Policy, Melbourne, Australia