Dalam beberapa tahun terakhir, bencana alam yang melanda wilayah Sumatera menunjukkan pola yang semakin mengkhawatirkan. Banjir besar, banjir bandang (galodo), dan tanah longsor tidak lagi hadir sebagai peristiwa musiman, melainkan sebagai ancaman berulang dengan skala dan dampak yang semakin meluas. Fenomena ini menjadi alarm keras bahwa perubahan iklim bukan lagi ancaman masa depan, tetapi telah nyata memengaruhi kehidupan masyarakat, terutama di wilayah rawan seperti Sumatera Barat, Aceh, dan Sumatera Utara.
Perubahan iklim ditandai oleh meningkatnya intensitas curah hujan dalam durasi singkat, perubahan pola musim, serta cuaca ekstrem yang semakin sulit diprediksi. Di Pulau Sumatera, kondisi geografis berupa pegunungan, lereng curam, dan daerah aliran sungai yang panjang semakin memperbesar risiko ketika hujan ekstrem terjadi. Kombinasi antara faktor alam dan aktivitas manusia seperti alih fungsi lahan, deforestasi, dan pembangunan di kawasan rawan bencana menjadikan dampak yang ditimbulkan semakin parah dan kompleks.
Sumatera Barat merupakan contoh nyata wilayah dengan kerentanan berlapis. Hampir setiap tahun, provinsi ini mengalami banjir, galodo, dan tanah longsor yang berdampak langsung pada kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Kawasan perbukitan dan pegunungan, khususnya di sepanjang Bukit Barisan, sangat rentan terhadap longsor saat curah hujan tinggi. Sementara itu, daerah hilir dan kawasan perkotaan menghadapi ancaman banjir akibat meningkatnya debit sungai serta keterbatasan daya tampung sistem drainase.
Baca Juga : Aparat Desa Jadi Fokus Perluasan Jamsostek, Cakupan di Pariaman Baru 37 Persen
Dalam rentang waktu Januari hingga November 2025, Sumatera Barat mencatat berbagai kejadian bencana hidrometeorologi yang menyebabkan korban jiwa, kerusakan rumah warga, serta lumpuhnya infrastruktur transportasi. Jalan nasional, jembatan, dan akses penghubung antarwilayah kerap terputus akibat longsor dan banjir bandang. Dampaknya tidak hanya mengganggu mobilitas masyarakat, tetapi juga menghambat distribusi logistik, aktivitas ekonomi, pendidikan, dan layanan kesehatan.
Kondisi serupa juga dialami oleh Aceh dan Sumatera Utara. Di Aceh, banjir dan longsor hampir setiap tahun melanda sejumlah kabupaten dan kota, terutama di wilayah dengan topografi berbukit dan daerah aliran sungai besar. Sumatera Utara pun menghadapi tantangan yang sama, dengan bencana yang meluas hingga ke kawasan permukiman dan pusat kegiatan ekonomi. Hingga akhir 2025, bencana di tiga provinsi ini telah menyebabkan ribuan rumah rusak, puluhan ribu warga mengungsi, dan ratusan korban jiwa.
Sayangnya, respons terhadap bencana masih cenderung bersifat reaktif. Pemerintah dan masyarakat bergerak cepat saat bencana terjadi, namun upaya pencegahan dan pengurangan risiko belum sepenuhnya menjadi arus utama dalam pembangunan. Padahal, perubahan iklim menuntut pendekatan yang lebih sistematis, terencana, dan berjangka panjang. Tanpa strategi adaptasi dan mitigasi yang kuat, bencana serupa akan terus berulang dengan dampak yang semakin besar.







