“Terjadinya banjir, longsor, atau galodo ini karena adanya alih fungsi lahan yang tidak terkendali, di mana hutan alam diubah menjadi kebun sawit atau menjadi areal pertambangan. Hujan ekstrem akibat adanya Siklon Senyar ini sebetulnya jarang atau langka terjadi menimpa wilayah ini,” katanya.
Adapun tentang siklus cuaca ke depan, walaupun terjadi perubahan iklim, tapi perubahan itu berlangsung gradual dan informasinya masih dapat diberikan. “Artinya, prakiraan cuaca cukup berhasil dilakukan. Tidak sama dengan gempa, yang waktu peringatan dini sangat pendek. Artinya, untuk cuaca, sistem peringatan dininya lebih baik. Lebih signifikan. Kecuali kalau ada kejadian-kejadian di luar perkiraan, seperti Siklon Senyar kemarin,” katanya.
Akumulasi Kerusakan Alam
Pakar Bencana Universitas Negeri Padang (UNP), Pakhrur Razi mengatakan, bencana yang melanda Sumbar merupakan hasil akumulasi panjang dari kerusakan daerah tangkapan air, alih fungsi lahan yang agresif, lemahnya tata ruang, serta kegagalan menjadikan peta risiko sebagai dasar pembangunan.
Menurutnya, banjir bandang dan tanah longsor adalah “bencana cepat” yang mematikan. Hal itu karena energi air dan materialnya tinggi, sehingga korban jiwa sering kali terjadi sebelum masyarakat sempat bereaksi. Fakta ini menegaskan bahwa pendekatan reaktif datang setelah bencana sudah tidak relevan lagi.
Menurut Pakhrur, mitigasi yang tepat untuk Sumbar harus dimulai dari hulu, bukan hanya di wilayah yang terdampak langsung. “Daerah pegunungan Bukit Barisan yang menjadi sumber air sungai-sungai besar mengalami tekanan berat akibat pembukaan lahan, jalan, dan permukiman yang mengabaikan daya dukung lingkungan,” tuturnya.







