Banner
Opini

Merambah Hutan Samakah Hukumnya Merambah Rakyat?

0
×

Merambah Hutan Samakah Hukumnya Merambah Rakyat?

Sebarkan artikel ini
Rakyat
DCIM103MEDIADJI_0021.JPG

Pusat Kajian Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah Hukum Adat Minangkabau yang disingkat Pujian ABS-SBK HAM kali ini mengamati dan mengkaji soal merambah hutan, samakah hukumnya denan merambah rakyat? Tema ini dapat ditinjau dari sisi adat, sisi syarak, dan sisi undang-undang. Jawaban ini kita cari dengan cara mendapatkan referensi dan bertanya kepada ahli dan kepada orang yang berpengalaman di bidang hutan.

“Merambah hutan” (illegal logging) dan “merambah rakyat” (menguasai/menindas rakyat) tidak sama, namun keduanya sering terkait: perambahan hutan sering dilakukan oleh atau atas nama “rakyat” (masyarakat pinggir hutan) untuk bertahan hidup, dan bisa menjadi sumber konflik yang menindas rakyat kecil (salah satu sisi konflik). Sementara “rakyat” (dalam konteks kekuasaan) juga bisa menjadi korban perambahan (karena hutan adalah sumber hidupnya), atau pelaku perambahan yang didorong oleh faktor ekonomi dan lingkungan, yang kemudian bisa dijerat hukum. Sekarang terjadi tuding-menuding antara rakyat dan pihak investor pengelola hutan.

Kata rakyat dia yang punya hutan. Karena itu wajar kami mengambilnya sekedar untuk kayu perumahan. Mengapa kami dihukum pula? Rasanya tidak akan berakibat pada banjir dan bencana alam lingkungan, katanya. Pihak pengelola hutan berdalil kami mempunyai surat izin dari yang berwenang. Lalu yang berwenang mengapa mengizinkan.

Baca Juga : Yuno Delwizar Baswir Bantu Korban Bencana di Sumbar, Jual Lukisan dan Kumpulkan Donasi di Amerika Rp62 Juta

Akibat hutan dirambah terjadi bencana banjir dan galodo. Yang menderita adalah rakyat, bahkan sampai merenggut nyawa dan harta benda mereka. Istilah ungkapan adatnya, si jambek yang berulah, si jangguik yang menderita. Terbitnya PP 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan yang merupakan revisi atas PP 34/2002 yang kemudian diterjemahkan lebih operasional melalui Permenhut Nomor P.37/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan (HKm) memberikan peluang kepada masyarakat yang sebelumnya mengakses kawasan hutan secara ilegal atau tanpa izin. Dengan kata lain, kebijakan HKm dapat diposisikan sebagai upaya penyelesaian terhadap ilegalitas akses petani miskin atas tanah kehutanan dalam jangka waktu tertentu menurut ketentuan yang ada.

Kebijakan hukum merupakan salah satu bentuk dari perhutanan sosial (social forestry) yang menempatkan hutan dan rakyat sebagai dua hal yang tak terpisahkan, yaitu bahwa hutan sebagai bagian dari rakyat dan sekaligus rakyat sebagai bagian dari hutan (Awang 2001). Selama ini banyak penelitian yang telah dilakukan masih menekankan pada konflik dan ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat lokal, dan jawabannya adalah memberikan hak kelola kepada masyarakat dalam bentuk penguasaan tanah melalui legalisasi (Dipokusumo 2011, Asanga 2005, Humaidi 2006, dll).