Banner
Opini

Merambah Hutan Samakah Hukumnya Merambah Rakyat?

3
×

Merambah Hutan Samakah Hukumnya Merambah Rakyat?

Sebarkan artikel ini
Rakyat
DCIM103MEDIADJI_0021.JPG

Tidak banyak penelitian yang menelaah lebih dalam bagaimana proses legalisasi okupasi tanah kehutanan oleh masyarakat desa yang semula adalah ilegal, bentuk-bentuk organisasi sosial petani miskin yang berperan dalam proses legalisasi tersebut, dan dampak dari proses legalisasi akses masyarakat terhadap hutan bagi peningkatan pendapatan.

Hal itulah yang dibahas dalam penelitian ini. Kalau rakyat merambah hutan tanpa izin, hukumnya jelas  bukan sekadar “dihukum” aja, tapi ada sanksi administratif, sipil, bahkan pidana. Berikut rangkumannya: (1) Sanksi Administratif. Dengah tahapan: (a) Peringatan tertulis dari Dinas Kehutanan/ Badan Penegak Hukum; (b) Denda administratif : biasanya Rp5 juta sampai dengan Rp50 juta tergantung luas dan tingkat kerusakan; (c) Pemulihan lahan : wajib menanam kembali (reboisasi) atau melakukan rehabilitasi lahan yang rusak. (2)  Sanksi Sipil. Tahapannya: (a)  Gugatan ganti rugi oleh pihak yang terkena dampak (misalnya, negara, perusahaan, atau masyarakat sekitar); (b) Pembayaran kompensasi atas kerusakan lingkungan dan kehilangan sumber daya. (3) Sanksi Pidana (Pasal 50-55 UU 18/2016 tentang Kehutanan); (a) Penjara maksimal 5 tahun atau denda maksimal Rp5 miliar bila terbukti merusak hutan lindung atau kawasan konservasi; (b) Penjara 13 tahun + denda bila merambah hutan produksi tanpa izin.

Jadi, merambah hutan bukan hal yang bisa dianggap ringan. Kalau tertangkap, selain harus menanggung biaya pemulihan, pelaku juga bisa berhadapan dengan penjara atau denda yang tidak sedikit. Lebih baik urus izin dulu, supaya hutan tetap lestari dan kita semua tetap aman.

Jika pengusaha merambah hutan apa sanksinya. Kalau pengusaha merambah hutan tanpa izin, sanksinya biasanya lebih berat daripada warga biasa karena dianggap melanggar hukum secara korporasi. Berikut rangkumannya: (1) Sanksi Administratif. Tahapannya (a) Peringatan tertulis dan perintah penghentian kegiatan; (b) Denda administratif : Rp10 juta Rp100 juta (tergantung luas dan tingkat kerusakan); (c) Wajib melakukan rehabilitasi lahan (reboisasi) dan membayar biaya pemulihan. (2) Sanksi Sipil. Tahapannya: (a) Gugatan ganti rugi oleh pemerintah atau pihak yang terdampak (misalnya masyarakat sekitar, hutan adat); (b) Kewajiban membayar kompensasi atas kerusakan lingkungan dan kehilangan sumber daya; (c) Sanksi Pidana (Pasal 50-55 UU 18/2016 tentang Kehutanan); (d) Penjara maksimal 5 tahun atau denda maksimal Rp5 miliar bila merusak hutan lindung/kawasan konservasi; ( e ) Penjara 13 tahun + denda bila merambah hutan produksi tanpa izin; (f) Jika terbukti ada unsur kesengajaan atau korupsi, ancamannya bisa lebih tinggi (penjara hingga 10 tahun).

Jadi, selain harus menanggung biaya pemulihan, pengusaha juga bisa berhadapan dengan penjara dan denda yang signifikan. Lebih baik urus izin dulu dan patuhi prosedur yang berlaku. Dalam ajaran syarak mangato disebutkan bahwa dalam Islam menjaga alam termasuk hutan merupakan bagian dari tanggung jawab khilafah (kepemimpinan) yang diberikan Allah kepada manusia. Beberapa dalil utama yang menegaskan larangan merusak hutan antara lain: (1) Al Qur’an.  “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya.” (QS 7:56)

Ayat ini menegaskan bahwa tindakan merusak, termasuk penebangan liar, bertentangan dengan perintah Allah; (2) Hadis Nabi Muhammad SAW. “Jika seseorang menanam pohon, maka ia akan mendapatkan pahala selama pohon itu memberi manfaat kepada manusia, binatang, dan tanah.” (HR Bukhari)