Program jemput bola juga membuka persoalan-persoalan laten di akar rumput. Di salah satu nagari misalnya, Ombudsman menemukan banyak warga belum memiliki buku nikah akibat berbagai kendala administratif.
“Tanpa buku nikah, akses terhadap layanan kesehatan, pencatatan kelahiran, hingga bantuan sosial menjadi terhambat. Ini harus diselesaikan bersama KUA dan Kementerian Agama. Target kami Desember ini tuntas,” ujarnya.
Secara kinerja, Ombudsman Sumbar mencatat 1.507 laporan diproses atau sekitar 95 persen dari total akses pengaduan. Dari jumlah itu, 346 laporan berhasil diselesaikan, atau setara 124 persen dari target kinerja nasional yang ditetapkan Ombudsman Pusat. “Capaian ini menempatkan Sumbar di peringkat empat nasional, masuk 10 besar dengan persentase penyelesaian tertinggi,” kata Adel.
Sepanjang 2025, Ombudsman Sumbar juga menangani 23 laporan urgen melalui mekanisme respons cepat, di mana mayoritas pengaduan terkait layanan rumah sakit. Selain itu, terdapat empat investigasi atas prakarsa sendiri, termasuk kasus penahanan ijazah di sekolah dan madrasah.
“Hasilnya, lebih dari 1.000 ijazah berhasil dikoreksi dan dikembalikan kepada siswa di MAN. Untuk SMA dan SMP juga berjalan, meski respons SMA kami nilai masih cukup lamban,” ujar Adel.
Dari sisi substansi, laporan terbanyak tahun ini berkaitan dengan pendidikan (39 laporan) pertanahan (37 laporan), serta kepegawaian. Sementara instansi terlapor masih didominasi oleh pemerintah daerah (105 laporan) disusul BPN (38 laporan), sektor perbankan/KUR (23 laporan), serta kepolisian yang masih masuk lima besar instansi yang dilaporkan masyarakat.
Dalam lima tahun terakhir, dugaan maladministrasi yang paling dominan adalah tidak memberikan layanan dan penundaan berlarut yang mencapai 94 persen. “Ini sudah menjadi penyakit dalam pelayanan publik kita,” kata Adel.







