Kita di Ranah Minang ini agaknya masih ada upaya menekan perkembangan LGBT tersebut dengan kekuatan adat dan agama yang sudah lama kita miliki yang disebut dengan ABS-SBK. Tapi ini kita lihat bahwa masalah ini tak lagi usang dibarui. Diingat-ingatkan di lapisan nagari kita yang membuhul dengan dengan kekuatan adat kokoh.
Tak hanya itu, kasus narkoba di Ranah Minang juga menjadi karisauan anak rantau kita. Kejadiannya silih berganti. Semuanya butuh perhatian dari ninik mamak kita di nagari.
Pada bulan Juni 2025 lalu, Gamawan Fauzi, seorang tokoh kita bertemu di Gubernuran Padang, bersama Gubernur Mahyeldi, Wagub Vasko Ruseimy, Ketua LKAAM Fauzi Bahar, Ketua MUI Gusrial Gazahar, Ketua Bundo Kanduang dan Syamsu Rahim yang mewakili mamak kepala waris.
Pertemuan yang cukup memberi harapan tentang kekuatan adat dan agama di lapisan yang paling bawah di nagari harus diperkuat dengan Peraturan Gubernur yang pada intinya menyambut kehadiran UU Nomor 17 Tahun 2023 tersebut. Langkah hebat menjadi penantian banyak pihak sebagai upaya mengobati dan menahan lajunya penyakit masyarakat generasi muda kita.
Namun, penantian itu setelah enam bulan berlalu tak kunjung ada. Padahal sudah dirumuskan sedemikian rupa langkah dan singkronnya dari pucuk undang (gubernur) ke tingkat nagari. Mandegnya rencana pergub itu lemahnya pihak birokasi menyiapkannya.
Masjid, musala dan surau di daerah kita luar biasa tumbuhnya. Tapi tak cukup hanya sampai di situ. Kekuatan lain yang menjadi pegangan di bawah juga diperlukan, agar keseragaman dalam kebersamaan ninik mamak dan alim ulama kita bisa berjalan baik.
Kita, masyarakat Sumatera Barat menanti tindaklanjut pertemuan Gamawan Fauzi dan tokoh Minangkabau bersama Gubernur Mahyeldi. Pertemuan penting dan “mahal” itu, akan kehilangan makna manakala tidak ada tindaklanjutnya. (*)
Oleh: Masful (Wartawan Senior/Tokoh Masyarakat)







