Banner
Opini

Strategi Menghadapi Ancaman Multi-Bencana

0
×

Strategi Menghadapi Ancaman Multi-Bencana

Sebarkan artikel ini
Bencana

Selama beberapa dekade, paradigma bencana di Indonesia, khususnya Sumatera Barat, telah terkonsentrasi secara signifikan pada ancaman tektonik. Berdiri di tepian cekungan Samudrra Hindia yang berbatasan langsung dengan zona subduksi aktif, kewaspadaan kolektif terpaku pada potensi gempa bumi dan tsunami yang menyertainya.

Hal ini bukan tidak beralasan. Berdasarkan data historis dan penelitian geofisika wilayah ini menyimpan memori kolektif akan peristiwa seperti gempa dan tsunami tahun 1833 dan gempa tahun 2009. Dengan kesadaran yang mengakar, sistem mitigasi dibangun menghadap lautan, jaringan sensor Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS) dipasang, jalur dan shelter evakuasi tsunami direncanakan, serta simulasi dan latihan rutin menjadi protokol tetap. Kesiapsiagaan tersebut seakan membentuk benteng pertahanan linier melawan ancaman dari arah barat.

Baca Juga : UMP Sumbar 2026 Naik 6,3 Persen

Namun, alam selalu menyampaikan narasinya melalui dialektika yang lebih kompleks dan multidisiplin. Bahaya tidak berasal dari satu arah. Pada Desember 2023, Gunung Marapi (tinggi 2.891 mdpl) mengingatkan kita melalui letusan freatiknya yang menewaskan 24 pendaki. Kejadian ini memberikan tanda bahaya gunung api tetap hidup dan tidak terduga di puncak-puncak kawasan Bukit Barisan. Peristiwa ini mengungkap kerentanan dalam sistem pemantauan gunung api tipe B dan manajemen risiko di zona wisata vulkanik.

Tahun 2024 kemudian menjadi titik balik, anomali iklim yang dipicu oleh fenomena Indian Ocean Dipole (IOD) positif dan pemanasan suhu muka laut lokal, memicu curah hujan ekstrem yang melampaui ambang batas pola cuaca jangka panjang, variabilitasnya, serta perubahan iklim dalam rentang waktu tahunan hingga puluhan tahun.

Data BMKG mencatat akumulasi hujan di beberapa wilayah Sumatera Barat melebihi 300 mm/hari, masuk kategori ekstrem. Lereng-lereng Bukit Barisan yang secara geologis tersusun dari batuan hasil aktivitas gunung api, berubah menjadi sumber bahaya akibat cuaca ekstrem (terutama hujan lebat berkepanjangan) dan memicu bencana dalam skala besar, seperti banjir, longsor dan banjir bandang yang terjadi hampir bersamaan di banyak tempat.

Banjir bandang dan tanah longsor kritis melanda Agam, Pesisir Selatan, Tanah Datar, dan Padang Panjang, merenggut lebih dari 30 jiwa, mengakibatkan ribuan pengungsian, serta kerugian infrastruktur yang mencapai ratusan miliar rupiah. Gemuruh yang mematikan itu bukan berasal dari samudera, melainkan dari lereng-lereng bukit barisan yang runtuh akibat curah hujan ekstrem. Kita cenderung menyebutnya “anomali”, sebuah terminologi yang berkonotasi kesementaraan atau tidak seperti biasanya.

Berita

HANTARAN.CO – Menjelang akhir tahun 2025 ini, kita…