Namun, tahun 2025 membantah klaim tersebut dengan realitas yang lebih pahit dan skala nasional. Curah hujan ekstrem berulang bertindak bagaikan merombak dan menggantikan kenormalan yang selama ini berlangsung. Data sementara dari Dashboard Kebencanaan Sumatera Barat mencatat korban jiwa melebihi 250 orang dan 82 masih hilang, dengan kerusakan infrastruktur vital seperti jalan, jembatan, jaringan listrik dan jaringan komunikasi, fasilitas pendidikan, kesehatan dan ekonomi yang memutus akses dan mengisolasi komunitas masyarakat.
Inilah wajah nyata dari bencana multi-ancaman (multi-hazard), di mana bahaya hidrometeorologi berpotensi memicu atau diperparah oleh kerentanan geologi, menciptakan krisis kemanusiaan, dan merusak infrastruktur. Tiga tahun berturut-turut ini merupakan pelajaran mahal, kita tidak lagi hanya mendiami zona patahan dan berhadapan dengan tsunami, tetapi hidup dalam sebuah laboratorium alam yang dinamis dan multidimensi. Di wilayah ini terjadi saling keterkaitan antara bahaya gempa-tsunami, aktivitas gunung api, bencana hidrometeorologi dan faktor iklim yang bersama-sama membentuk satu sistem risiko terpadu atau rangkaian bencana yang saling memicu (cascading disasters).
Namun, di tengah reruntuhan selalu ada cahaya inovasi ilmu pengetahuan dan solidaritas global. Contoh nyata datang dari Chengdu, Provinsi Sichuan, Tiongkok. Sebuah wilayah yang juga rawan gempa dan longsor. Melalui kolaborasi dalam International Consortium on Landslides (ICL) dan penerapan Artificial Intelligence (AI) serta Internet of Things (IoT), mereka mengembangkan sistem peringatan dini terintegrasi yang canggih.
Sistem ini berhasil memberikan peringatan empat jam sebelum longsor besar di wilayah Maoxian (2017) dan 27 detik sebelum guncangan utama gempa di wilayah Lushan (2022). Ini merupakan selang waktu kritis yang memberi kesempatan untuk dilakukan evakuasi terpandu, penghentian operasi kereta berkecepatan tinggi, menghentikan pembangkit nuklirnya, dan penyelamatan nyawa yang signifikan.
Kasus ini membuktikan secara empiris bahwa korban jiwa dalam jumlah besar bukanlah takdir, melainkan hasil dari pilihan kebijakan dan kapasitas mitigasi. Keselamatan dapat direkayasa melalui konvergensi sains, teknologi serta tata kelola yang kokoh. Pelajaran ini terang, menghadapi raksasa bernama ancaman multibencana maka cara penanganan yang dilakukan secara terpisah-pisah dan bersifat sementara tanpa perencanaan yang menyeluruh dan berkelanjutan tidak lagi memadai. Diperlukan suatu kekuatan nasional yang terpusat dan multidisiplin, sebuah pusat komando ilmu pengetahuan dan inovasi kebencanaan yang berdiri di garis terdepan risiko.
Pertanyaan strategisnya di manakah benteng ilmu ini harus didirikan? Jawabannya tertanam dalam konteks geografis dan akademis Sumatera Barat. Wilayah ini merupakan laboratorium hidup kebencanaan paling komprehensif di Indonesia. Di sini, ancaman gempa (Patahan Sumatera, zona subduksi), tsunami, letusan gunung api (Marapi, Talang, Singgalang), banjir bandang, dan longsor hadir dalam satu lanskap yang saling terhubung. Ditopang oleh kapasitas akademik Universitas Andalas dan perguruan tinggi lain yang memiliki kelompok riset geologi, teknik sipil, lingkungan, dan sosial humaniora kebencanaan yang mapan. Seperti halnya Pusat Studi Kebencanaan Universitas Andalas yang telah memiliki komunitas keilmuan kelompok para ahli dan peneliti yang memiliki pengetahuan serta pemahaman mendalam di bidang kebencanaan. Komunitas ini tentu sangat memahami “bahasa” bumi wilayah ini. Secara kebetulan Pusat Studi Kebencanaan Universitas Andalas juga sudah menjalin kerja sama dengan International Consortium on Landslides (ICL).







