Cakupan wilayah dari bencana ekologis Sumatera, menurut hasil pendataan hingga 22 Desember 2025, mencapai 52 kabupaten/kota. Dari ratusan desa yang terdampak, sembilan (9) desa dilaporkan hilang atau hancur. Tak kurang dari 147.000 rumah rusak. Sedikitnya 1.600 fasilitas umum dan 145 jembatan dilaporkan rusak. Sebanyak 967 gedung sekolah juga rusak. Jumlah warga terdampak bencana mencapai lebih dari 3,3 juta jiwa. Sedangkan jumlah warga yang meninggal tercatat 1.106 jiwa, sementara 175 orang lainnya masih dalam pencarian. Dari jumlah pengungsi sekitar satu juta warga, lebih dari 7.000 orang terluka.
Sudah pasti bahwa jutaan warga yang menjalani kehidupan di wilayah bencana benar-benar tidak nyaman karena segala sesuatunya sudah rusak parah akibat endapan lumpur dan wujud material lain yang dibawa banjir bandang atau tanah longsor. Sudah barang tentu semua kerusakan pada wilayah permukiman warga itu patut segera diperbaiki untuk mencapai tahap layak huni. Patut disyukuri karena pemerintah telah mengalokasikan anggaran sampai Rp 60 triliun untuk memulihkan semua wilayah terdampak bencana Sumatera. Semua berharap agar kementerian teknis yang berkait dengan upaya pemulihan Sumatera itu segera berkoordinasi dan memulai kerja nyata, demi pulihnya harapan semua warga terdampak.
Selain urgensi rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah terdampak bencana di Sumatera, masalah lain yang tak kalah pentingnya untuk segera ditangani adalah kerja-kerja nyata bagi penguatan kinerja ekonomi nasional. Cakupan masalah dalam perekonomian nasional hari-hari ini meliputi gelembung pengangguran yang menyebabkan semakin melemahnya daya beli atau konsumsi rumah tangga, kecenderungan mati suri sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), hingga potensi bangkrutnya perusahaan atau produsen di sektor manufaktur karena pasar dalam negeri dibanjiri produk impor ilegal, termasuk impor pakaian bekas.
Hasil survei Asian Development Bank yang dipublikasikan Kadin Indonesia pada 2020 menyebutkan bahwa hampir 50 persen dari total UMKM sudah bangkrut. Persentase itu merefleksikan jutaan pelaku UMKM tidak mampu bertahan. Kebangkrutan UMKM Indonesia tentu saja ikut berkontribusi menciptakan gelembung pengangguran. Tidak hanya UMKM, sektor manufaktur Indonesia juga mengalami tekanan yang signifikan yang menyebabkan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) massal sepanjang tahun 2024–2025.
Menurut BPS, jumlah pengangguran di Indonesia meningkat menjadi 7,28 juta orang per Februari 2025. Pada periode yang sama, total angkatan kerja bertambah 3,67 juta orang, menjadi 153,05 juta jiwa. Penambahan angkatan kerja baru melahirkan asumsi bahwa jumlah pengangguran pun terus bertambah. Tak hanya BPS, IMF pun memprediksi tingkat pengangguran Indonesia pada 2025 bisa mencapai 5 persen.
Inisiatif dan Koordinasi Lintas Sektor
Kurang lebih seperti itulah gambaran atau ringkasan persoalan multidimensional yang saat ini dihadapi pemerintah dan masyarakat. Dalam upaya menguatkan kinerja perekonomian nasional, diperlukan inisiatif baru dan stimulus yang mengarah pada upaya pemulihan produktivitas, peningkatan daya saing produk, penciptaan lapangan kerja, hingga rancangan kebijakan untuk memulihkan daya beli masyarakat atau konsumsi rumah tangga.






