Hadi Tjahjanto Jadi Menteri ATR/BPN, Mantan Kapolda Sumbar Optimis Kasus Mafia Tanah di Padang Bisa Diungkap

PADANG, hantaran.co -Marsekal TNI (Purn) Hadi Tjahjanto ditunjuk Presiden Jokowi sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) yang baru, ia menggantikan posisi Syofyan Djalil.

Dikutip KOMPAS.com, dengan dipilihnya Hadi sebagai menteri ATR, mantan Kapolda Sumbar, Irjen Pol (Purn) Fakhrizal berharap kasus dugaan mafia tanah kaum Maboet di Padang, Sumatera Barat yang belum ada kejelasan hingga kini bisa terselesaikan di tangan Hadi.

“Kita tahu, kasus tanah kaum Maboet hingga kini belum ada kejelasannya. Ditangan Pak Hadi, saya berharap dan optimis kasus ini ada kejelasannya,” ujar Fakhrizal kepada wartawan di Padang, Sabtu (18/6/2022).

Fakhrizal menyebut, Hadi memiliki pengalaman sebagai prajurit hingga menjadi Panglima TNI.

Dengan pengalamannya itu, Hadi yang menguasai teritorial pasti bisa menyelesaikan berbagai konflik tanah di Indonesia, termasuk di Padang, Sumatera Barat.

Diketahui, kasus dugaan mafia tanah kaum Maboet seluas 765 hektare di Padang, hingga kini masih berpolemik. Sebelumnya, sebanyak 5 pegawai Badan Pertanahan Negara (BPN) ditetapkan sebagai tersangka karena diduga memalsukan surat kaum Maboet.

Kemudian giliran Mamak Kepala Waris (MKW) kaum Maboet bersama dua orang kaum Maboet dan pengacaranya yang ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi.

MKW kaum Maboet, Lehar meninggal dunia saat ditahan, kemudian dua saudaranya M Yusuf dan Yasri dilepaskan dari tahanan dengan alasan karena tidak cukup bukti.

Fakhrizal mengatakan saat dirinya menjabat Kapolda Sumbar di 2019, kasus tersebut sebenarnya sudah hampir tuntas.

Kaum Maboet dengan Mamak Kepala Waris (MKW) Lehar saat itu sudah memiliki dokumen yang sah atas tanah kaumnya tersebut.

Tertera pada dokumen yang dikeluarkan Kepala Kantor BPN Kota Padang Elfidian tahun 2019, yang mengatakan tanah seluas 765 hektare di 4 Kelurahan Kecamatan Koto Tangah adalah tanah Adat Kaum Maboed MKW Lehar, dan sudah di sampaikan kepada Menteri ATR/BPN, Gubernur Sumbar, Kapolda Sumbar, Kajati Sumbar, Walikota Padang, dan seluruh Instansi yang terkait termasuk kepada pihak Kaum Maboed sendiri.

Menurut Fakhrizal, keluarnya dokumen oleh BPN tentu tidak sembarangan, hal tersebut tentunya sudah melalui proses yang sangat panjang dan bertahun-tahun.

Hal tersebut juga dibuktikan dengan adanya putusan-putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, seperti beberapa kali pihak kaum Maboet digugat perdata, semuanya dimenangkan oleh kaum Maboet.

“Disini berarti sudah terjawab dan tidak ada lagi pertanyaan apakah ini tanah negara atau tanah adat karena Pemda tidak pernah menggugat kaum Maboet,” kata Fakhrizal.

Setelah masalah tanah ini dinyatakan milik kaum Maboet oleh BPN Kota Padang, kemudian muncul lagi persoalan baru karena di atas tanah 765 hektare itu sudah banyak berdiri bangunan, kampus dan lainnya.

“Kemudian saya carikan solusi dengan kesepakatan bersama kaum Maboet bahwa bangunan yang sudah berdiri tidak diganggu, sementara yang masih kosong baru dikuasai kaum Maboet,” ucap Fakhrizal.

Kesepakatan tersebut kemudian disosialisasikan kepada semua pihak yang berada di atas tanah tersebut seperti Yayasan Baiturrahman, Yayasan Bung Hatta, dan lainnya.

“Setelah itu, persoalan tersebut saya anggap sudah selesai. Tapi setelah saya pindah tugas ke Mabes Polri, dua bulan kemudian kasus itu meruncing lagi,” tutur Fakhrizal.

MKW Maboet Lehar, M Yusuf, Yasri dan pengacaranya Eko ditangkap polisi atas dugaan kasus pemalsuan dan penipuan berdasarkan laporan seorang pengusaha yang membuka blokir di atas tanah Maboet.

“Kemudian kasus itu dipublikasikan secara besar- besaran. Kementerian ATR/BPN memberikan penghargaan kepada penyidik Polda Sumbar yang berhasil mengungkap kasus yang katanya mafia tanah. Gubernur juga memberikan penghargaan yang sama,” ujar Fakhrizal.

Menurut Fakhrizal, penghargaan tersebut cukup aneh karena yang memberikan penghargaan bukan institusi Polri.

Kemudian MKW Lehar meninggal dunia dalam tahanan Polda Sumbar. M Yusuf, dan Yasri kemudian dibebaskan karena tidak cukup bukti dan hanya Eko yang dihukum pengadilan.

Saat menjabat sebagai Kapolda Sumbar, Fakhrizal menyebut telah menangkap 5 orang pegawai Badan Pertanahan Negara atas dugaan pemalsuan dokumen kepemilikan tanah Maboet dan kemudian menetapkan mereka sebagai tersangka.

Bahkan, pihak kepolisian memenangkan gugatan praperadilan yang diajukan tersangka. Namun, setelah dirinya pindah, kasus itu ternyata dihentikan (SP3).

“Saya lihat sudah terjadi kriminalisasi, mafia tanah dan mafia hukum, sehingga saya berharap Mabes Polri, Kejaksaan Agung, KPK dan Komnas Ham turun tangan untuk mengungkap kasus ini agar penegakan hukum dapat terwujud,” kata Fakhrizal.

Persoalan tanah kaum Maboet ini berawal dari adanya Landraad No. 90 Tahun 1931 dan kemudian surat sita dari Pengadilan atas tanah 765 hektare di Koto Tangah, Padang yang dimiliki kaum Maboet.

Putusan Landraad keluar setelah kaum Maboet digugat perusahaan Belanda dan pengadilan saat itu memenangkan kaum Maboet. Tanah ulayat 765 hektare itu tercatat dalam Eigendom Verponding 1794.

Sementara, Kabid Humas Polda Sumbar Kombes Pol Stefanus Satake Bayu Setianto membenarkan kasus dugaan mafia tanah yang menyeret Lehar dan kawan-kawan dikembalikan jaksa ke polisi (P19).

“Benar. Kasusnya P19. Kemudian tersangka M Yusuf dan Yasri dikeluarkan dari tahanan karena lewat masa batasnya,” kata Satake kepada wartawan.

hantaran/rel

Exit mobile version