KAMPANYE PILKADA SUMBAR, Kandidat Harus Banyak Mendengar

MOMENTUM MEMILIH — Baliho resmi KPU Sumbar yang menampilkan empat paslon gubernur dan wakil gubernur terpasang di papan reklame Jalan Dr. M. Hatta Simpang Katapiang, Senin (19/10). Lebih dari 3,7 juta warga Sumbar akan menentukan pilihan pada Pilkada 9 Desember mendatang. TIO FURQAN

Pola komunikasi dominan satu arah akan negatif bagi elektabilitas dan menimbulkan kesinisan pada kandidat. Lebih jauh lagi, gaya seperti itu akan berdampak pada rendahnya tingkat partisipasi pemilih. Sudahlah Covid-19 membuat warga bimbang ke TPS, cara komunikasi kandidat juga tidak kreatif.

Najmuddin M. Rasul

Pakar Komunikasi Politik Unand

PADANG, hantaran.co — Partisipasi pemilih di Pilkada Sumbar berpotensi rendah jika para kandidat lebih mengedepankan pola komunikasi monopoli aktor di setiap aktivitas sosialisasi atau kampanye. Diharapkan, komunikasi yang terjalin antara kandidat dan calon pemilih adalah komunikasi dua arah, sehingga para kandidat tidak terkesan hanya berceramah.

Pakar Komunikasi Politik Universitas Andalas (Unand) Najmuddin M. Rasul menilai, sejauh ini, amatannya menunjukkan bahwa kandidat terlalu asik dengan pola monopoli aktor saat berkomunikasi dengan masyarakat. Padahal, belum tentu ide dan gagasan yang dibawa para kandidat telah sejalan dengan keinginan masyarakat.

“Seperti di Pilgub, tampak Cagub atau Cawagub berusaha membawa ide dan membawa masyarakat untuk mengamini ide tersebut. Seharusnya kan pemimpin itu berjalan di atas maunya masyarakat, bukan sebaliknya. Sejauh ini saya amati, yang terjadi itu monopoli aktor dalam berkomunikasi,” kata Najmuddin kepada Haluan, Kamis (22/10/2020).

Padahal, sambung Najmuddin, pola komunikasi seperti itu justru bisa berdampak negatif pada tingkat elektabilitas seorang kandidat. Sebab, pola itu akan menimbulkan kesinisan masyarakat terhadap calon, dan menimbulkan perasaan hanya dijadikan sebagai objek dan bukan subjek dalam politik.

“Lebih jauh lagi, gaya seperti itu justru akan berdampak pada rendahnya tingkat partisipasi pemilih. Belum lagi pemilih ini sudah dibimbangkan untuk datang ke TPS karena situasi pandemi, kebimbangan itu malah diperparah dengan cara komunikasi kandidat yang tidak kreatif, sehingga bisa saja gagal menarik masyarakat untuk berpartisipasi ke TPS,” katanya lagi.

Pola komunikasi satu arah yang kerap berlangsung, juga diyakini Najmuddin sebagai konsekuensi tidak maksimalnya tim pemenangan dan konsultan politik dalam memberikan masukan pada para kandidat.

“Mestinya, yang disampaikan kepada masyarakat adalah hasil penggalian masalah-masalah yang dirasakan oleh masyarakat itu sendiri. Mestinya, setiap tim harus punya basis data problem itu. Selain itu, pesan politik harus terukur, rasional, dan logis bagi masyarakat,” kata Ketua Prodi Komunikasi Universitas Dharma Andalas (Unidha) itu lagi.

Banyak Mendengar

Sementara itu, Pakar Komunikasi Politik dari Universitas Ekasakti (UNES) Padang Sumartono ikut menekankan, bahwa dialog antara kandidat dengan masyarakat sangat diperlukan dalam konteks pemilu di Sumbar. Sebab, masyarakat Sumbar pun tergolong masyarakat yang suka didengar dan mau berargumen.

“Patut disadari bahwa masyarakat kita di Sumbar adalah masyarakat yang naratif. Mereka mudah dipancing untuk bercerita dan berkeinginan untuk didengar. Lantas jika kandidat hanya datang untuk menjual harapan seperti berceramah, ya itu akan sangat sulit untuk menarik hati masyarakat,” katanya kepada Haluan.

Dekan Fisipol UNES itu meyakini, dari kebiasaan berdialog akan muncul kedekatan secara emosional antara kandidat dengan masyarakat. Jika dalam dialog ada masalah yang diketengahkan masyarakat, maka kandidat bisa menjawabnya dengan solusi yang masuk akal untuk direalisasikan. Namun jika tidak, lebih baik masalah itu dicatat untuk dicarikan solusinya.

“Jangan seolah-olah kita paham semua hal dan terus berceramah banyak hal. Tidak ada salahnya kandidat menjual harapan, tapi harapan itu harus realistis diwujudkan. Ingat juga bahwa orang Sumbar itu ‘gampang-gampang susah’. Kalau seorang kandidat sudah dinilainya pas untuk dipilih, maka kemana pun akan dibela. Tapi sebaliknya, masyarakat Sumbar juga pintar melihat mana kandidat hanya menjual harapan,” katanya lagi.

Sementara itu di tengah pandemi Covid-19 yang masih berlangsung, Sumartono menilai para kandidat juga harus pintar memaksimalkan medium lain untuk lebih dekat dengan masyarakat. Pembatasan dalam kampanye yang diatur oleh Undang-Undang juga mesti dijawab dengan mencari jalan lain untuk menyampaikan gagasan.

“Jika terbatas secara offline, kandidat mestinya lebih maksimal secara online. Jadi, tidak saja memakai cara-cara lama dengan berkunjung ke warga kemudian memproduksi berita demi berita. Padahal, lebih jauh para kandidat itu tetap bisa menjaga komunikasi dengan, misalnya, membuat grup percakapan secara online. Di sana juga saran dan keluhan tetap ditampung, sehingga kedekatan secara emosional itu lebih hidup,” katanya menutup.

Pilkada di Sumbar sendiri akan diisi oleh pelaksanaan 1 Pemilihan Gubernur (Pilgub) dan 13 Pemilihan Bupati dan Wali Kota (Pilbup/Pilwako). Sebanyak empat pasang calon akan berlaga di arena Pilgub Sumbar di antaranya, Mulyadi-Ali Mukhni nomor urut 1, Nasrul Abit-Indra Catri nomor urut 2, Fakhrizal-Genius Umar nomor urut 3, dan Mahyeldi-Audy Joynaldi nomor urut 4.

KPU Sumbar sendiri telah mengumumkan 3,7 juta lebih daftar pemilih tetap (DPT) yang memiliki hak pilih pada Pilkada nanti. Komisioner KPU Sumbar Gebril Daulay, meyakini bahwa target partisipasi pemilih yang ditargetkan sebanyak 77,7 persen dari total DPT dapat tercapai meski pun Pilkada berlangsung di tengah pandemi Covid-19.

“Kami sudah upayakan dan masih terus mengupayakan sosialiasi lewat berbagai cara untuk meningkatkan partisipasi pemilih. Sampai sekarang, tidak ada target yang dikoreksi, tetap 77,7 persen. Pilkada akan berlangsung dengan penerapan protokol kesehatan,” kata Gebril kepada Haluan. (*)

Riga/hantaran.co

Exit mobile version