Membentengi Anak dari Kekerasan Seksual

cabul pelajar padang

Ilustrasi

PADANG, hantaran.co—Dalam seminggu terakhir sejumlah kasus kekerasan seksual terhadap anak kembali terjadi di Sumatra Barat. Hal ini menjadi alarm bagi orang tua, masyarakat, dan pemerintah betapa rentannya anak-anak dari tindakan kekerasan seksual. Sehingga, sejumlah langkah preventif untuk membentengi anak harus mulai diseriusi.

Ketua Harian Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Padang, Ernawati menyebutkan kasus kekerasan seksual ibarat gunung es. Hanya sedikit yang terungkap ke permukaan. Lantaran berbagai faktor, diyakini masih banyak kasus kekerasan seksual terhadap anak yang tidak terungkap. Salah penyebabnya karena korban atau orang tua korban enggan melapor kepada pihak berwajib. Bisa jadi karena takut atau karena malu.

“Mungkin karena pelakunya merupakan orang terdekat atau karena orang tuanya malu, takut anaknya gimana-gimana nantinya. Terkadang orang tua tidak tahu mau melapor ke mana atau takut kalau melapor harus bayar. Padahal kan tidak,” katanya kepada Haluan, Jumat (18/6).

Ernawati mengimbau korban tidak perlu takut dan ragu melaporkan tindak kekerasan yang dialaminya, karena P2TP2A siap melakukan pendampingan dan pemulihan terhadap korban.

Sementara itu, Asisten Psikolog yang juga Pendamping Korban di P2TP2A, Rahma Triananda menyebut, selama 2020 lalu, pihaknya selalu menerima laporan tidak hanya tindak kekerasan seksual, namun juga kekerasan perempuan dan anak.

“Mengenai kunjungan dalam sehari itu tidak tentu. Kadang ada dua, tiga, atau lebih. Pernah juga sehari tidak ada kunjungan sama sekali. Secara umum, dalam seminggu pasti selalu ada laporan pengaduan tindak kekerasan,” kata Rahma.

Lebih lanjut, ia menjelaskan beberapa bentuk pelayanan yang diberikan di P2TP2A yang beralamat di Jalan Teratai Nomor 1, Flamboyan Baru itu. Pertama, tindakan preventif (pencegahan), seperti sosialisasi kepada masyarakat, sekolah-sekolah, karang taruna, RT, RW, dan semua elemen masyarakat.

Kedua, kuratif (penanganan) dan pendampingan kasus dari awal. Kemudian, pendampingan psikologis awal, koordinasi dengan pihak terkait seperti dinas sosial (dinsos), LSM, Nurani Perempuan, Polda, dan pihak terkait lainnya. “Terakhir, rehabilitatif (pemulihan) bagi korban,” ucapnya.

Beberapa langkah untuk meminimalisasi kasus, kata Rahma, juga sudah dilakukan pemerintah, seperti sosialisasi sebagai langkah preventif dan perlindungan anak terpadu berbasis masyarakat (PATBM), di mana gerakan ini dimulai dari jaringan atau kelompok warga pada tingkat masyarakat yang bekerja secara terkoordinasi untuk mencapai tujuan perlindungan anak.

Lebih jauh, ia menjelaskan, kasus kekerasan terhadap anak disebabkan oleh berbagai faktor yang tidak bisa digeneralisasi. Namun secara umum, beberapa faktor yang sering kali muncul adalah faktor lingkungan, faktor ekonomi, pelaku yang pernah menjadi korban sebelumnya, atau luka batin yang belum pulih.

Aktivis Kesehatan Mental, Immatulfathina mengatakan, pelaku kekerasan seksual rata-rata adalah orang terdekat korban. Ia juga menyebut, kekerasan seksual bisa menimbulkan berbagai dampak psikis maupun psikologis terhadap korban.

“Kekerasan seksual yang dialami anak berisiko menimbulkan trauma, regulasi emosi yang buruk, balas dendam, kemampuan akademik menurun, hingga risiko bunuh diri karena merasa tidak berharga dan depresi,” tuturnya.

Faktor Pandemi

Terkait maraknya kasus pencabulan dan pelecehan seksual, Sosiolog Universitas Andalas, Yulkardi mengatakan, tindak kekerasam belakangan ini bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor.

“Kita tidak tahu apa sebenarnya akar masalahnya, karena kejadian ini sudah sedemikian klasiknya. Hanya saja mungkin konteksnya yang sangat bervariasi sekali akhir-akhir ini. Faktor umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, kesempatan, keterisolasian, keterpaparan medsos, hingga kondisi ekonomi dari si pelaku maupun korban ikut memengaruhinya,” ucapnya.

Pandemi Covid-19, menurut Yulkardi, juga bisa memiliki dampak multidimensi, termasuk memicu kasus pencabulan atau pelecehan seksual. Namun, seberapa besar pengaruhnya, ia menyebut harus dilakukan riset lebih lanjut agar tidak salah tafsir.

“Jangan-jangan kejadian pencabulan atau pelecehan seksual itu karena alasan klasik. Ketika orang tengah terpusat perhatiannya pada fenomena Covid-19, maka nyaris terabaikan perhatian dan pengawasan kepada pelaku pelecehan seksual, sehingga semakin terbuka peluang untuk melakukan tindakan tersebut. Pikiran seperti itu, tentu saja ada di dalam setiap pelaku potensial, baik pemain lama atau baru tanpa memandang usia,” ujarnya.

Ia menyebutkan, jika berandai-andai, bahwa dampak dari metode dalam jaringan (daring) dan semua aktivitas lebih banyak dilakukan di rumah dengan dibekali internet, maka setiap orang memiliki banyak waktu dan kesempatan untuk mengeksplorasi konten-konten yang berbau pornografi. Itu semua bisa dianggap menstimulasi pelaku yang potensial.

Sementara itu,  Psikolog Anak dan Remaja Biro Psikologi Limpapeh yang juga dosen psikologi di Universitas Andalas, Septi Mayang Sarry mengatakan, salah satu faktor yang mendorong terjadinya kekerasan seksual adalah karena adanya gangguan perilaku seksual yang bisa jadi sudah ada sejak lama namun karena tidak ditangani dengan tepat. Begitu pula saat pelaku berhasil pada kasus pertama, maka biasanya ada kesenangan dan kemenangan, sehingga ia akan melakukannya lagi dan lagi.

“Jadi memang sebaiknya aparat memberikan hukuman yang tepat bagi pelaku untuk menimbulkan efek jera. Jika memang diperlukan, harusnya ada penanganan profesional untuk mengurangi penyimpangan yang dilakukan. Sebagai masyarakat, seharusnya memang berani melaporkan. Bahkan ada beberapa kasus di mana pelaku justru senang saat melihat korbannya merasa ketakutan dan cemas. Jadi usahakan untuk tenang terlebih dahulu sambil mencari bantuan terdekat,” tuturnya.

(Yessi/Hantaran.co)

Exit mobile version