Mereview Keterlibatan Influencer Bayaran untuk Kampanye RKHUP

Influencer

Ilustrasi Influencer

LAPORAN : VETHRIA R

Pada era revolusi industri 4.0 dan society 5.0 ini, Kementerian Komunikasi dan informasi RI dituntut untuk melaksanakan tugas dan fungsi utamanya, yaitu merumuskan kebijakan nasional, kebijakan pelaksanaan, dan kebijakan teknis di bidang komunikasi dan informatika yang meliputi pos, telekomunikasi, penyiaran, teknologi informasi dan komunikasi, layanan multimedia dan diseminasi informasi. Tentunya dalam pelaksanaan tugas dan fungsi utamanya tersebut, tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 sebagai konsensus nasional.

 

Namun dalam prakteknya, Kemenkominfo RI tidak luput dari kelebihan dan kekurangan khususnya dalam kebijakan teknis di bidang komunikasi dan informatika. Hal ini dapat kita buktikan dengan menggunakan analisis SWOT sebagai teknik perencanaan strategi bermanfaat untuk mengevaluasi kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness), peluang (opportunities), dan ancaman (threats) terkait proyek kemenkominfo RI.

 

Salah satu kekuatan Kemenkominfo adalah prestasinya belakangan ini yang mampu mengantarkan Indonesia untuk menempati peringkat 3 Dari 103 negara sebagai negara dengan platform edukasi digital terbesar di dunia dalam Global Skills Report 2022 berdasarkan survei Coursera. Pada bulan berikutnya, Juli 2022, Kemenkominfo berkomitmen untuk menetapkan larangan peredaran beberapa situs web terkenal yang ilegal, seperti PayPal, Epic Games, Steam, Origin, dan Yahoo!, serta permainan video seperti Counter-Strike: Global Offensive dan Dota 2 karena tidak terdaftar di bawah peraturan menteri tersebut.

 

Sayangnya, Kebijakan Kemenkominfo yang memiliki kelemahan adalah pada penggunaan influencer bayaran terkait RKHUP belakangan ini sehingga telah menuai polemik dan kontroversi. Publik menduga kehadiran influencer yang direkrut pemerintah hanya bertujuan untuk meredam kritik terhadap RKUHP yang baru saja disahkan. Kampanye RKUHP sejak agustus 2022 terlalu mendengungkan sisi baiknya saja dari RKUHP. Artinya, dalam publikasi yang baik, Kemenkominfo selayaknya juga memegang prinsip “cover both side”. Artinya, pemerintah pusat selayaknya menerapkan prinsip itu mulai dari proses mendapatkan berita atau informasi dan memproduksi berita atau informasi serta menyebarkannya berdasarkan keseimbangan informasi. Justru dari keseimbangan informasi atau keadilan informasi yang secara konsisten,  yang memunginkan tercapainya peningkatan trust publik pada pemerintah pusat.

 

Sebenarnya tidak ada masalah jika orang-orang tersohor di media sosial mempromosikan RKUHP, selama dalam publikasinya memegang prinsip keseimbangan informasi publik dan selama tidak membebani anggaran belanja negara. Sayangnya, istilah influencer yang mulanya dipakai dalam dunia marketing bermakna sebagai seorang dengan jumlah followers atau pengikut banyak, yang memiliki pengaruh besar kepada audience bisa saja tidak bersikap objektif ilmiah. Dengan digital influence sebagai kemampuan untuk mempengaruhi, merubah opini, dan perilaku secara online bisa saja malah menjadi kekuatan yang menyesatkan. Meskipun secara umum makna influencer masih netral, yaitu mereka yang memiliki pengaruh di sosial media, sebagaimana dikutip dari ‘Buku Ajar E-Commerce’ oleh Vera Selvina, dkk.

 

Namun dalam prakteknya, banyak influencer yang bekerja menurut pesan-pesan titipan dari pihak yang membayarnya. Pembiayaan untuk influencer pun tidak murah. Buktinya, Lembaga Swadaya Masyarakat, Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan penggunaan anggaran pemerintah pusat untuk influencer atau pemengaruh sebesar Rp 90,45 miliar untuk sosialisasi kebijakan sepanjang tahun 2014 sampai 2019. Akhirnya publik menilainya sebagai pemborosan. Tentu saja kebijakan kemenkominfo ini dianggap menjadi kelemahan pemerintah pusat dan berdampak negatif pada jangka panjang.

 

Dengan anggaran sebanyak itu,  pemerintah lebih baik mengoptimalisasi program pemberdayaan  praktisi humas pemerintah ataupun pranata humasnya baik kualitas dan kuantitasnya secara organik dalam memperkuat trust publik ke pemerintah pusat.  Pemerintah cukup menjamin terselenggaranya lalu lintas suara publik termasuk suara influencer agar tetap bebas berpendapat secara kritis dan sukarela, tanpa pemerintah menghambur-hamburkan uang untuk membeli mahal kemampuan digital influence dari influencer yang disulap jadi corong pemerintah.

 

Kelemahan selanjutnya adalah ketika Usman selaku Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kemenkominfo justru menolak membeberkan jumlah anggaran khusus yang digelontorkan pemerintah untuk kampanye RKUHP.  Padahal diakuinya jumlah anggaran itu sudah disetujui oleh DPR RI dan disebutkannya bahwa dirinya dibantu oleh pihak  yang membantu menggaet influencer (Badan Siberkreasi Kominfo). Tentu saja tidak adanya transparansi telah membuahkan tanda tanya besar: “Mengapa praktek transparansi dan akuntabilitas publik tidak dicontohkan untuk hal ini secara bertanggung jawab dalam konteks pelayanan informasi publik?

 

 

Mungkinkah influencer bayaran pemerintah bisa bersuara secara objektif atau berimbang sesuai prinsip cover both side, bila idealismenya selalu dimanfaatkan oleh pemerintah?  Dana yang berasal dari masyarakat selayaknya dialokasikan pemerintah untuk pelayanan informasi publik yang berimbang dan transparan secara bertanggung jawab.

 

Beruntung pihak Kemenkominfo berkomitmen untuk terus mendorong pengembangan SDM atau talenta digital nasional di level kecakapan digital tingkat dasar, menengah, serta tingkat lanjut. Bahkan Menkominfo, Johnny berinisiatif untuk memfasilitasi pelatihan data science kepada 50.000 peserta setiap tahunnya melalui kerja sama dengan berbagai perusahaan teknologi nasional dan global.

 

Dengan prestasi dan komitmen kemenkominfo tersebut, menjadikan peluang bagi warga net Indonesia pada masa mendatang semakin cerdas dan kritis dalam menilai kebijakan publik. Bahkan tak terkecuali dapat mengkritik secara konstruktif kebijakan publik yang diterapkan oleh kemenkominfo sendiri. Tentu ini bukan dimaknai sebagai “senjata makan tuan” tapi lebih tepat bila dimaknai “kemenkominfo selalu butuh kritik dan saran yang membangun agar semakin maju”.

 

Tujuan Informasi Publik Menurut UU  14 Tahun 2008 adalah membuka peluang bagi seluruh pegiat media sosial untuk mendukung terselenggaranya Keterbukaan Informasi Publik yang sehat. Adapun cakupan tujuannya sebagai berikut:

  1. Menjamin hak masyarakat untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, proses pengambilan keputusan publik, dan alasan pengambilan suatu keputusan publik;
  2. Menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik;
  3. Meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan Badan Publik yang baik;
  4. Mewujudkan penyelenggaraan negara yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta bisa dipertanggungjawabkan;
  5. Mengetahui alasan kebijakan publik yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak;
  6. Mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa;
  7. Meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan Badan Publik supaya menghasilkan layanan informasi berkualitas.

 

Dengan demikian, transparansi dan akuntabilitas yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pelayanan informasi publik, khususnya terkait anggaran yang dibelanjakan untuk pembiayaan jasa influencer menjadi krusial  dicontohkan oleh kemenkominfo, bila memang pemerintah benar-benar memiliki itikad membangun Good Government.

 

Keteladanan ini tentu harus dimulai dari proses kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan/pengendaliannya, serta mudah diakses oleh semua pihak yang membutuhkan informasi publik. Adapun informasi Publik berdasarkan undang-undang KIP adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan UU ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.

 

Dengan penetapan UU KIP, maka instansi pemerintah pusat maupun daerah wajib  menginformasikan pada masyarakat sesuai dengan undang-undang yang berlaku sebelum masyarakatnya menuntutnya. Setiap badan publik menyampaikan informasi publik kepada masyarakat yang dikelola oleh Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID). Yang mana PPID ini bertanggungjawab atas penyediaan, pendokumentasian/penyimpanan serta pelayanan informasi.

 

Agar informasi publik tersebut berjalan efektif, sebagai tujuan  Komisi Informasi dibentuk. Tugasnya menjalankan undang-undang KIP yang berlaku serta peraturan pelaksanaannya dan menyelesaikan sengketa informasi publik dengan cara mediasi.

 

Kebebasan informasi adalah kunci kekuatan demokrasi Pancasila, tentu bila kebebasan tersebut diiringi dengan tanggung jawab penuh. Kebebasan informasi itu sendiri bisa mendorong akses publik sehingga publik bisa mendapatkan informasi yang positif seluas-luasnya.

 

Pelayanan informasi publik harus  dijadikan orientasi utama pemerintah. Sebab selaras dengan teori kedaulatan rakyat yang dianut oleh  John Locke, Montesquieu dan Jean-Jacques Rousseau. Teori ini menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi dalam suatu negara berada di tangan rakyat (P.N.H Simanjuntak. Pendidikan Kewarganegaraan. Grasindo. hlm. 151).

 

Bahkan lebih dari itu, kedaulatan tuhan pun sudah selayaknya diposisikan di atas kedaulatan rakyat, mengingat RKUHP sebagai produk hukum dari sekumpulan asumsi manusia tidak akan mungkin bisa menandingi Hukum Allah dalam al-Quran yang diturunkan dengan ilmu Allah. Sebagaimana tersurat dan tersirat  dalam Al Quran sebagai berikut:

 

 ”Katakanlah, ‘Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain’.” (QS Al-Israa’ [17] :88).

 

”Bahkan mereka mengatakan, ‘Muhammad telah membuat-buat Al-Quran itu’. Katakanlah, ‘Maka datangkanlah 10 surat seumpamanya dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar’. Jika mereka yang kamu seru itu tidak menerima seruanmu itu maka ketahuilah, sesungguhnya Alquran itu diturunkan dengan ilmu Allah, dan bahwasanya tidak ada Rabb selain Dia, maka maukah kamu berserah diri (diatur dengan hukumNya)?” (QS Huud [11]:13-14).

 

Akhirnya, pemerintah pusat perlu lebih banyak mendengarkan  kritik publik yang berbasis referensi ketuhanan yang Maha Esa dan yang bersifat konstruktif ilmiah terkait RKHUP.  Dari pada pemerintah memperbanyak belanja untuk membiayai jasa influencer terkait RKHUP. Mengingat produk hukum hasil rekayasa manusia itu selalu memiliki keterbatasan dan kelemahan yang tidak sebanding dengan Kitab Allah yang bernilai Hukum Allah pada keteladanan kenabian.

 

Sedangkan memaksakan anggaran belanja untuk membiayai influencer terkait kampanye RKHUP telah dan akan selalu menjadi ancaman bagi trust publik pada pemerintah pusat, karena itu dapat memicu berbagai polemik dan spekulasi publik. Jika spekulasi publik berkembang pada kecurigaan adanya ambisi politik di balik getolnya pemerintah mempertahankan RKHUP dan saat perhatian dan peran pemerintah lemah pada pemberdayaaan divisi humas yang ada. Maka akhirnya pemerintah akan menjadi kesulitan sendiri kelak dalam memulihkan citra Kemenkominfo.

 

Ancaman selanjutnya juga terkait dengan nomenklatur “kominfo” (komunikasi dan Informasi) yang dikritik masyarakat, tampaknya perlu dicermati. Karena nomenklatur tersebut menunjukkan upaya yang lebih mengutamakan keterampilan komunikasi dari pada informasi sebagai esensinya. Hal ini justru berakibat mengapa menjadi marak misinformasi di dunia maya. Oleh karena itu kemenkominfo perlu meninjau ulang penggunaan nomenklatur “kominfo”, karena memang lebih tepat menggunakan nomenklatur “infokom”.  Mengapa demikian? sebab faktanya, komunikasi yang baik sangat ditentukan oleh informasi yang objektif ilmiah berdasarkan hati nurani dan akal sehat bukan berdasarkan transaksi antara segelintir oknum pemerintah dan influencer. Padahal informasi yang transparan, aktual, tajam, terpercaya dan berimbang, bila dikomunikasikan dapat mengancam anomali oknum pemerintah.

 

Sehebat apapun influencer bayaran bersilat lidah, pada akhirnya suara mereka yang tidak objektif tidak akan mampu  selamanya menutupi kebenaran. Ketika warganet semakin mengekspos wawasan luas sebagai syarat membanding dan nilai bandingan sebagai parameter kebenaran. Maka  pada waktunya, nilai-nilai yang benar dapat teruji. Nilai    kebenaran dan kejujuran, akan menjawabnya. Tak ada yang dapat menghentikan batasan ruang dan waktunya yang telah ditentukan, walau sesaat pun. (*)

Exit mobile version