Pembacaan Vonis Bupati Nonaktif Solok Selatan Muzni Zakaria Ditunda Sepekan, Ini Alasannya

Majelis Hakim Pengadilan Tipikor PN Padang, membacakan keputusan menunda agenda sidang pembacaan vonis bagi terdakwa dugaan suap proyek Muzni Zakaria, Rabu (14/10/2020). Sidang ditunda hingga pekan depan. WINDA

PADANG, hantaran.co —Agenda pembacaan vonis bagi Bupati nonaktif Solok Selatan (Solsel) ditunda hingga sepekan ke depan. Penundaan disebabkan majelis hakim Pengadilan Tipikor PN Padang belum menyelesaikan surat putusan, sehingga belum dapat dibacakan. Sebelumnya, Muzni dituntut oleh Jaksa KPK dengan hukuman enam tahun penjara.

Penundaan putusan atas kasus dugaan suap proyek pembangunan Jembatan Ambayan dan Masjid Agung Solsel oleh Muzni dari M. Yamin Kahar (berkas terpisah) selaku pengusaha/pemilik Dempo Group itu, disampaikan majelis hakim sesaat setelah membuka persidangan pada Rabu (14/10/2020).

“Sebelumnya kami mohon maaf, putusan belum dapat dibacakan, karena belum siap. Untuk itu, sidang kita tunda dan akan dilanjutkan kembali pada tanggal 21 Oktober 2020 mendatang. Sidang ditutup,” kata Hakim Ketua Yoserizal, didampingi M. Takdir dan Zaleka selaku hakim anggota.

Pantauan Haluan di Pengadilan Tipikor PN Padang, sidang berlangsunng secara virtual. Sebab, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menangani perkara ini, serta Penasihat Hukum (PH) dari terdakwa Muzni Zakaria, tengah berada di Jakarta.

Sementara itu, terdakwa Muzni Zakaria sendiri tetap hadir dalam persidangan dengan pengawalan ketat dari aparat. Usai mendengar keputusan penundaan sidang tersebut, terdakwa Muzni pun keluar dari ruang sidang, lalu menaiki mobil tahanan Polda Sumbar.

Perjalanan Kasus

Sebelumnya, Jaksa KPK mengajutkan tuntutan enam tahun penjara dan pencabutan hak politik selama empat tahun bagi Muzni Zakaria. Jaksa menilai, Muzni secara langsung mau pun tak langsung menerima fee proyek dari bos Dempo Grup M Yamin Kahar. Tututan dibacakan jaksa Rikhi B Maghaz dkk yang menangani perkara ini pada Rabu (16/9/2020) lalu.

Selain tuntutan penjara, Muzni juga dituntut membayar denda senilai Rp250 juta serta uang pengganti Rp3,375 miliar. Jaksa menyebutkan sejumlah pertimbangan yang memberatkan tuntutan dalam surat dakwaan setebal 695 halaman tersebut.

Jaksa menyebutkan, terdakwa telah melanggar pasal 12 huruf b Undang-Undang (UU) RI Nomor 31 tahun 1999, tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, sebagaimana diubah dengan UU RI nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, juncto pasal 64 ayat 1 (1) KUHP.

Selain itu JPU KPK, mencabut hak politik terdakwa selama empat tahun. Jaksa menilai, hal-hal yang memberatkan perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah memberantas korupsi, tidak berterus terang dan tidak mengakui perbuatannya, serta status pengerjaan proyek pembangunan Masjid Agung dan Jembatan Ambayan Solok Selatan yang belum selesai dan belum dilanjutkan.

“Terdakwa yang menerima uang dari M Yamin Kahar (berkas terpisah), baik langsung maupun tidak langsung, haruslah dipandang. Sebab, terdakwa berstatus sebagai bupati. Sementara itu, terkait pengakuan terdakwa terkait sejumlah uang yang berstatus pinjam-meminjam antara terdakwa dengan M Yamin Kahar berkas terpisah,patut dinilai sebagai sebuah rekayasa,” ucap jaksa.

Kemudian pada Rabu (30/9), Muzni Zakaria mengajukan pledoi di depan majelis hakim. Muzni Zakaria yang tampak menahan tangis saat membacakan pembelaan membantah telah menerima uang bos senilai Rp 3,2 miliar dari terpidana M. Yamin Kahar dan Rp 175 juta dari Plt Kadis PU Solok Selatan Hanif Rasimon.

“Keabsahan Akta ini sudah dijelaskan langsung notaris Muhammad Ishaq kepada JPU juga kepada majelis hakim. Tambah jelas lagi dengan dihadirkan saksi ahli hukum perdata, Dekan Fakultas Hukum Unand Prof Busyra Azheri. Sehingga fakta tersebut tidak diragukan lagi,” katanya.

Muzni menambahkan, dengan keterangan notaris dan saksi ahli, serta bukti akta notaris menjadi dasar pembuktian bahwa uang senilai Rp 3,2 miliar itu bukan penerimaan sebagai gratifikasi sebagaimana yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi.

“Pinjaman itu murni hubungan keperdataan yang sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Bukan penerimaan sebagai gratifikasi,” ujarnya.

Muzni juga membantah dakwaan JPU KPK tentang penerimaan fee kepada dirinya dalam pelaksanaan tender proyek yang dikaitkan dengan uang pinjaman senilai Rp 3,2 miliar. Dia menyampaikan bahwa dakwaan JPU KPK hanya berdasar asumsi dan tidak memiliki dasar fakta sama sekali.

“Fakta persidangan berdasarkan keterangan keseluruhan saksi yang dihadirkan tidak ada satupun keterangan saksi yang menyebutkan bahwa adanya fee yang diterima ataupun diberikan kepada saya sebagai Bupati dalam hal pelaksanaan proyek pembangunan mesjid dan proyek pembangunan jembatan,” ucapnya. (*)

Winda/hantaran.co

Exit mobile version