Pilkada Sehat Butuh Transparansi

Pelaporan dana kampanye yang tidak transparan bisa jadi pintu masuk terjadinya kecurangan. Kasus seperti itu tidak hanya ditemukan saat pemilihan kepala daerah, tetapi juga banyak ditemukan saat pemilihan legislatif

Asrinaldi

Peneliti Spektrum Politika/Dosen Ilmu Politik Unand

PADANG, hantaran.co — Tranparansi pasangan calon (paslon) kepala daerah dalam pelaporan dana kampanye menjadi kunci agar Pilkada berjalan dengan sehat dan demokratis. Paslon diharapkan terbuka dan rinci dalam melaporkan sumber dan peruntukkan dana, serta menghindari potensi dana sumbangan dengan komitmen tertentu, yang bisa berujung pada praktik korupsi kebijakan di masa yang akan datang.

KPU Sumbar sendiri telah merilis laporan dana awal kampanye empat pasangan calon (paslon) gubernur dan wakil gubernur Sumbar, Sabtu (26/9). Laporan itu tertuang dalam surat bernomor 430/PL.02.05-Pu/13/Prov/IV/202 yang diunggah facebook KPU Sumbar. Tertera dalam surat tersebut, paslon nomor urut 1 Mulyadi-Ali Mukhni melaporkan dana awal kampanye senilai Rp10 juta.

Sementara itu, paslon nomor urut 2 Nasrul Abit-Indra Catri melaporkan dana awal paling kecil, senilai Rp1 juta. Berikutnya, paslon nomor urut 3 Fakhrizal-Genius Umar melaporkan dana awal paling besar, yaitu senilai Rp200 juta. Kemudian, paslon nomor urut 4 Mahyeldi-Audy Joinaldy melaporkan dana awal kampanye sebesar Rp10 juta. Laporan dana tersebut, juga telah ditampilkan pada situs sumbar.kpu.go.id.

Ketua Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Sumbar Samaratul Fuad mengatakan, pelaporan dana awal kampanye merupakan perintah dari Undang-Undang Pilkada Nomor 10 Tahun 2017/6 yang dilakukan sebelum kampanye berlangsung. Dana tersebut, kata Fuad, diperuntukkan untuk seluruh kegiatan kampanye paslon maupun tim pemenangan.

“Setelah 14 hari pemungutan suara, paslon wajib melaporkan seluruh dana kampanye, termasuk dana sumbangan dari pihak-pihak lain. Lalu, dana kampanye itu akan diaudit oleh auditor independen yang telah ditunjuk KPU,” kata Fuad kepada Haluan, Minggu (27/9/2020).

Terkait sumber dana kampanye sendiri, kata Fuad lagi, UU mengatur bahwa dapat berasal dari sumbangan partai politik pengusung paslon, dari paslon itu sendiri, dan dari lembaga atau badan hukum swasta, termasuk sumbangan dari orang perorangan. Sumbangan dari lembaga badan hukum swasta berjumlah maksimal Rp750 juta, sementara sumbangan indivudu maksimal berjumlah Rp250 juta.

“Seluruh dana kampanye wajib dimasukkan dalam rekening khusus dana kampanye paslon. Sementara itu dalam pasal 76 ayat 1 disebutkan, dana sumbangan kampanye tidak boleh berasal dari negara, lembaga, dan masyarakat asing. Serta tidak boleh dari penyumbang yang tidak jelas identitasnya. Termasuk dana yang berasal dari pemerintah dan pemerintah daerah, serta BUMN dan BUMD,” kata Fuad lagi.

Namun jika dana sumbangan dari perusahaan atau dari perseorangan melebihi batas maksimal yang ditentukan, maka paslon berkewajiban melaporkan dana yang lebih dari batas maksimal itu kepada KPU. Paslon kemudian bertanggung jawab untuk mengembalikan kelebihan tersebut ke kas negara.

“Uang yang lebih dari batas itu, dikembalikan ke kas negara dan akan menjadi uang negara. Jika tidak dilaporkan, sementara uangnya tetap digunakan untuk kampanye, maka itu sudah masuk ranah pidana. Termasuk jika ditemukan setelah diaudit, bahwa identitas penyumbang fiktif, paslon juga bisa dipidana,” kata Fuad.

Terkait sponsor atau penyumbang dana kampanye paslon yang sempat disebut Menkopolhukam Mahfud MD sebagai “cukong”, menurut Fuad bukan sebuah masalah sepanjang paslon melaporkan dana sumbangan tersebut. Namun, akan jadi masalah ketika penyumbang dan paslon terlibat komitmen tertentu yang jadi gerbang pembuka korupsi kebijakan saat paslon terpilih dan memimpin daerah.

“Mungkin yang dimaksud Mahfud MD adalah dana yang diterima dari sponsor, tapi tidak dimasukkan ke dalam laporan. Di situ sebenarnya letak kelemahan aturan laporan dana kampanye ini. Sebab, tidak ada ketentuan yang mengharuskan audit laporan dilakukan secara investigatif. Selama identitas penyumbang jelas dan tidak ada kesepakatan di luar itu, maka tidak masalah,” kata Fuad menutup.

Mudah Dimanipulasi

Di sisi lain, Peneliti Spektrum Politika Asrinaldi mengatakan, sumbangan dana kampanye berbentuk barang akan lebih sulit dideteksi ketimbang sumbangan berupa uang. Sebab, sumbangan uang mudah ditelusuri saat audit dilakukan. Terlebih, kwitansi dalam pengadaan barang-barang kampanye mudah dimanipulasi.

“Laporan dana awal itu adalah peta kekuatan paslon saat akan melakukan kampanye. Dari dana awal yang dilaporkan Cagub dan Cawagub Sumbar, tampak sekali banyak Paslon yang tidak terbuka terkait dana awal kampanye. Banyak yang tidak logis menurut saya,” kata Asrinaldi kepada Haluan.

Pelaporan dana kampanye yang tidak transparan dari kandidat, kata Asrinaldi, dapat jadi pintu masuk terjadinya kecurangan. Kasus seperti itu, katanya, tidak hanya ditemukan dalam pemilihan kepala daerah, tetapi juga banyak ditemukan dalam pemilihan legislatif.

“Apa yang disebut Prof Mahfud tentang dana cukong saat Pilkada, merupakan sebuah fakta. Maka keinginan berbagai pihak untuk menunda Pilkada, tentu dapat membuyarkan kepentingan-kepentingan yang telah disusun pihak-pihak tertentu dalam Pilkada,” katanya lagi.

Oleh karena itu, dosen Ilmu Politik Universitas Andalas (Unand) itu menyadari, bahwa persoalan-persoalan Pilkada, termasuk soal laporan dana kampanye, masih membutuhkan evaluasi mendalam di masa yang akan datang.

Mahfud Singgung Cukong

Sebelumnya, Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan, hampir 92 persen calon kepala daerah yang tersebar di seluruh Indonesia dibiayai oleh cukong. Rata-rata, kata Mahfud, setelah terpilih para calon kepala daerah ini akan memberi timbal balik berupa kebijakan yang menguntungkan para cukong tersebut.

“Di mana-mana, calon-calon itu 92 persen dibiayai oleh cukong dan sesudah terpilih, itu melahirkan korupsi kebijakan,” kata Mahfud saat menjadi pembicara dalam diskusi bertema Memastikan Pilkada Sehat: Menjauhkan Covid-19 dan Korupsi yang disiarkan melalui kanal Youtube resmi Pusako FH Unand, Jumat (11/9/2020).

Sejak Pilkada langsung yang sistem pemilihannya dilakukan oleh rakyat, kata Mahfud, para cukong banyak yang menabur benih bersama para kontestan Pilkada. Hubungan timbal balik biasanya berupa kebijakan yang diberikan para calon kepala daerah yang telah resmi terpilih kepada para cukong tersebut. Apa yang terjadi kemudian, kata Mahfud, dampak kerja sama dengan para cukong ini lebih berbahaya dari korupsi uang.

“Korupsi kebijakan itu lebih berbahaya dari korupsi uang. Kalau uang bisa dihitung, tapi kalau kebijakan dalam bentuk lisensi penguasaan hutan, lisensi-lisensi penguasaan tambang yang sesudah saya periksa itu tumpang-tindih,” katanya lagi.

Riga/hantaran.co

Exit mobile version