Politik Sumbar Disebut Belum Ramah Perempuan, Ini Faktanya

Keterwakilan Perempuan. Ilustrasi

PADANG, hantaran.co — KPU Sumbar dan KPU kota/kabupaten tengah memproses syarat pencalonan 98 orang atau 49 pasangan calon (paslon) yang hendak berlaga di 14 Pilkada Serentak 2020 di Sumbar. Dari jumlah calon tersebut, hanya ada satu calon perempuan yang ikut serta, yaitu mantan Anggota DPR RI Betty Shadiq Pasadigoe yang maju di Pemilihan Bupati (Pilbup) Tanah Datar.

Pengamat menilai, minimnya keterwakilan perempuan di Pilkada disebabkan banyak faktor. Mulai dari masih kentalnya budaya patriarki di tengah masyarakat, tidak adanya ruang di internal partai politikm dan pola pikir perempuan yang masih menganggap politik sebagai hal yang keras dan tidak ramah perempuan.

Peneliti Spektrum Politika Institut Andri Rusta menyebutkan, minimnya keterlibatan perempuan di pentas pemilihan pejabat eksekutif disebabkan anggapan di tengah masyarakat, yang menilai “Bundo Kanduang” tidak memiliki kemampuan untuk memimpin dan pengambil keputusan untuk kepentingan daerah.

“Stereotip maskulinitas masyarakat terhadap perempuan masih cukup tinggi. Selain itu, perempuan di pentas politik juga tidak bisa menonjolkan diri dan terlepas dari dominasi kaum pria,” kata Andri kepada Haluan, Minggu (9/8/2020).

Berbeda halnya dengan pemilihan legislatif (pileg), kata Andri, kaum perempuan memang diberi ruang lapang untuk maju. Sementara di sisi masyarakat, juga muncul gender stereotipe dan glass ceiling dalam menilai dan menempatkan perempuan yang tidak pas untuk memasuki ranah politik yang dianggap keras, manipulatif, koruptif, dan bahkan oportunis.

Sebagian besar masyarakat menurut Andri, berpendapat terlalu naif dalam menempatkan perempuan Minang dalam aktivitas politik praktis. Padahal, itu justru dapat mendegradasi posisi terhormat kaum perempuan di tengah publik.

“Hambatan sosio kultur inilah yang semakin mempertegas perempuan Minang menjadi kepala daerah masih sekadar ilusi. Ilusi ini semakin diperkuat dengan menguatnya budaya patriarki dalam masyarakat, yang justru terkesan menghalangi perempuan menduduki kursi orang nomor satu di daerah. Partai politik, cenderung mengedepankan budaya ini karena menganggap ada keterbatasan yang akan dihadapi perempuan saat masuk ke dunia politik praktis,” kata Andri lagi.

Akibat kentalnya budaya patriarki di tengah masyarakat, kata Andri lagi, Parpol cenderung memprioritaskan laki-laki untuk diusung sebagi calon kepala daerah. Hal itu ditunjukkan dengan hanya ada tiga calon kepala daerah perempuan yang ikut mencalonkan diri sebagai kepada daerah sepanjang sejarah Pilkada di Sumbar.

“Dulu di Pemilihan Walikota Bukitinggi, ada Rahmi Brisma sebagai calon wakil wali kota. Kemudian, Dewi Fitri Deswarti sebagai Calon Wali Kota Pariaman yang akhirnya kalah dari Genius Umar. Serta yang terakhir, Betty Shadiq Pasadigoe di tahun ini,” ucap Andri merincikan.

Ke depan, Andri masih pesimistis perempuan akan mendapatkan ruang lebih untuk dapat maju di kontestasi pemilihan kepala daerah. Sebab, kekuatan partai politik masih didominasi oleh kaum pria. “Parpol di Sumbar hampir seluruhnya dipimpin laki-laki. Dulu, perempuan masih ada peran di partai, paling tidak untuk posisi bendahara. Namun belakangan, posisi itu juga didominasi laki-laki,” ucapnya lagi.

Meski demikian, Andri tak menampik bahwa faktanya pilihan-pilihan kader perempuan yang mumpuni di Sumbar juga sangat sedikit. “Saya sangat pesimis, jika tidak ada perbaikan di internal partai politik untuk memberikan ruang yang lebih kepada perempuan,” kata Dosen Ilmu Politik Universitas Andalas (Unand) itu menutup.

Keluarga Bukan Alasan

Di sisi lain, Pengamat Politik dari Universitas Negeri Padang UNP Nora Eka Putri mengatakan, perempuan di Sumbar memang sangat kesulitan mendapatkan kendaraan untuk maju dari Parpol. Ia menilai, hal itu ikut disebabkan kurangnya intensitas aktivitas perempuan di internal partai politik.

“Kecuali ada faktor-faktor tertentu, seperti Betty Shadiq Pasadigoe di Tanah Datar yang sudah cukup dikenal, karena sebelumnya dia juga anggota DPR RI dan juga istri dari mantan Bupati Tanah Datar Shadiq Pasadigoe,” kata Nora kepada Haluan, Minggu (13/9).

Sementara itu bagi perempuan lain yang tidak memiliki privilege seperti Betty Shadiq Pasadigoe, diakui Nora masih sangat sulit mendapatkan peluang maju di Pilkada. Sebab, meyakinkan masyarakat untuk dapat memilih perempuan juga masih sangat sulit dilakukan.

“Intensitas untuk berkiprah di partai juga masih terbatas karena ada urusan domestik seperti keluarga yang harus diurus. Namun, itu tidak bisa dijadikan alasan. Karena di tempat lain, perempuan memiliki peran yang cukup besar seperti sebagai ASN, di BUMN, di BUMD, atau sebagai akademisi,” kata Nora lagi.

Selain itu, kata Nora, belakangan ini keterlibatan perempuan di partai politik masih belum familiar bagi perempuan-perempuan di Sumbar. Padahal dulu pahlawan nasional, tokoh-tokoh perjuangan di Sumbar banyak yang berasal dari kalangan perempuan.

“Sementara jika dilihat di pentas legislatif cukup banyak keterwakilan perempuan. Sedangkan untuk di tingkat eksekutif memang cukup sulit karena beberapa faktor yang telah disebutkan tadi,” katanya.

Menurut Nora, ruang bagi perempuan untuk dapat ikut berkontestasi di pemilihan pimpinan lembaha eksekutif masih terbuka lebar, selama perempuan memiliki rekam jejak dan kinerja yang baik. Namun, pola pikir dari masing-masing perempuan juga mesti diperbaiki terlebih dahulu.

“Kebanyakan perempuan masih memandang politik itu terlalu keras, sehingga mereka mengurungkan niat untuk terlibat. Dengan pola pikir seperti itu tentu budaya patriarki akan semakin subur,” kata Nora menutup.

Riga/hantaran.co

Exit mobile version