Nampak dengan jelas, properti dapur yang tradisional itu menjadi simbolisme “Tanah Ibu, Tanah Rempah” tersebut sebagai bentuk interpretasinya.
Bermula dari aktor perempuan sebagai penerus keturunan ibu di Minangkabau, yang selalu dengan ekspresi tatapan kosong dan mengeluh, menandakan bentuk beban yang ditanggung sepeninggal ibunya yang telah lebih dulu menanggung beban.
Lada yang digunakan menunjukkan kesibukan perempuan mengolah lada sebagai hasil panennya yang akan dijual rugi kepada VOC tersebut.
“Saat aktor sedang menampi dengan nyiru, itu menunjukkan bahwa pada dasarnya perempuan Minangkabau hanya bekerja di dapur saja, untuk membuat dan mengolah masakan. Tapi kedatangan VOC merusak tatanan adat dan budaya. Membuat perempuan ikut terlibat ke dalam aktivitas para laki-laki di Minangkabau,” kata Thendra menjelaskan.
Lalu saat aktor mulai bermain dengan ketiding, di sana mulai tampak tanda bahwa perempuan itu telah merasakan beban yang ditanggung di tanahnya sendiri oleh kedatangan VOC tersebut.
Sambil membawa tempeyen, menyimbolkan tanah sebagai kepemilikan perempuan di Minangkabau, malah menjadi siksaan tersendiri baginya, karena tanah hanya sebagai wadah untuk menguntungkan VOC semata, meski tanah itu milik masyarakat Minangkabau pada umumnya. VOC hanya menipu daya dengan mengambil tanaman rempah dengan murah di atas tanah masyarakat Minangkabau.
“Tanah Ibu, Tanah Rempah”, sebuah pertunjukan yang benar-benar membawa khalayak masuk dan merasakan bagaimana sejarah itu, meski khalayak tidak terlibat dalam peristiwa sejarahnya. Tapi, khalayak dapat membayangkan, betapa beratnya beban yang diterima dan ditanggung oleh masyarakat Minangkabau, khususnya perempuan Minangkabau sebagai penguasa tanah.
Dan setidaknya performing art “Tanah Ibu, Tanah Rempah” ini dapat memantik khalayak untuk dapat menjadikan hal itu sebagai pelajaran untuk dapat terbebas dari tekanan-tekanan yang ada, serta bagaimana kita bisa memberikan perubahan baru untuk ke depannya bagi generasi sekarang.
(Jum/Hantaran.co)
Komentar