Terkait Penundaan Pilkada, Ini Penjelasan Menkopolhukam Mahfud MD

Menkopolhukam Mahfud MD, saat menjawab pertanyaan awak media dan warganet dalam acara Ngopi Basamo di Hotel Pangeran Beach Kota Padang, di sela kunjungan kerjanya ke Sumbar, Kamis (17/9/2020). HAMDANI

PADANG, hantaran.co — Beberapa hari terakhir muncul dorongan agar pemerintah menunda kembali rencana pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 dengan pertimbangan pandemi Covid-19 yang belum kunjung reda. Menepis isu itu, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD memastikan bahwa Pilkada 2020 tetap digelar pada 9 Desember mendatang.

Hal itu disampaikan Mahfud dalam acara Ngopi Basamo Menko dengan Media Massa dan Warganet di Hotel Pangeran Beach, Padang, Kamis (17/9/2020). Menurut Mahfud, meski di beberapa daerah di Indonnesia muncul klaster pilkada, sedapat mungkin tidak akan menghalangi pelaksanaan Pilkada 2020 yang sebelumnya juga telah mengalami penundaan.

Menurut Mahfud, pilkada adalah agenda konstitusional yang bersifat mendesak dan harus segera dilaksanakan. Sehingga, tidak mungkin bagi pemerintah untuk terus-menerus melakukan penundaan.

“Kalaupun ditunda, mau ditunda sampai kapan? Sampai pandemi Covid-19 berakhir? Kan tidak ada yang bisa memastikan kapan pandemi Covid-19 akan berakhir. Kalau terus-terusan ditunda, bisa-bisa tidak jadi sama sekali,” ujar Mahfud.

Ia menyebutkan, bagaimana pun, pandemi Covid-19 harus tetap dihadapi. Oleh sebab itu, pemerintah telah mengucurkan dana sebesar Rp4,4 triliun untuk upaya penerapan protokol kesehatan yang maksimal selama penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 berlangsung.

Dengan mengikuti protokol kesehatan yang ketat, sambungnya, seperti pengaturan jadwal pencoblosan, penggunaan Alat Perlindungan Diri (APD) oleh petugas TPS, dan sebagainya, ia percaya bahwa Pilkada 2020 akan dapat terlaksana dengan lancar.

“Termasuk juga soal kampanye. Peserta tidak diperbolehkan melaksanakan kampanye yang dapat menimbulkan keruman orang dalam jumlah banyak. Jika terbukti melanggar, maka siap-siap saja terkena sanksi pidana,” katanya lagi.

Dalam hal ini, Mahfud ikut mengapresiasi Pemprov Sumbar yang telah menyiapkan Perda Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB), yang dapat dijadikan landasan hukum bagi peserta pilkada yang melanggar aturan kampanye selama masa pandemi Covid-19.

Menurutnya, hingga saat ini, baru dua provinsi yakni Sumbar dan Nusa Tenggara Barat (NTB), yang telah mengajukan perda yang memuat sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan selam pandemi Covid-19. “Saat ini drafnya kemungkinan besar masih di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagi). Dalam waktu dekat akan segera disahkan,” ucapnya.

Waspadai Cukong Pilkada

Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terdapat 82 persen calon kepala daerah yang akan maju pada Pilkada 2020 dibiayai oleh sponsor. Dari jumlah itu, menurut Mahfud, sebagian besar justru dibiayai cukong. “Malah lebih banyak yang dibiayai oleh cukong ketimbang sponsor,” katanya.

Sponsor dan cukong, ucap Mahfud, secara kebahasaan sesungguhnya memiliki pengertian yang sama. Hanya saja, sponsor membiayai calonnya secara terang-teraangan, sedangkan cukong cenderung lebih tersembunyi.

“Misalnya saja, jika sponsor membiayai alat peraga kampanye (APK), maka nama perusahaannya akan ikut ditampilkan. Nah, kalau cukong tidak begitu. Mereka cenderung diam-diam, tidak ingin dimunculkan di hadapan publik,” ujarnya.

Ia menyebutkan, hampir semua yang terlibat dalam penyelenggaraan pilkada berperkara di pengadilan, dan sebagian besar dilatarbelakangi oleh keberadaan cukong. Keberadaan cukong, ucapnya lagi, sangat berbahaya. Lantaran keberadaannya berpotensi memunculkan tren korupsi kebijakan, yang menurut Mahfud jauh lebih berbahaya ketimbang pandemi Covid-19.

“Kepala daerah yang terpilih karena sokongan dana dari cukong sering kali membuat kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai dengan aturan perundang-undangan. Misalnya, memberikan izin pertambangan pada pihak-pihak yang semestinya tidak diberi izin. Pihak-pihak yang oleh kepala daerah periode sebelumnya telah dicabut izinnya. Dan kejadian ini, sering kami temukan,” ujarnya lagi.

Mahfud menyebutkan, korupsi kebijakan lebih merugikan daripada korupsi tunggal atau satu kali. Sebab, korupsi kebijakan biasanya bersifat jangka panjang, berkelanjutan, dan lebih sulit diberantas. “Untuk itu, mari bersama-sama kita mencegah hal ini jangan sampai terjadi,” katanya. 

Hamdani/hantaran.co

 

Exit mobile version